Siapa bilang taksi murah akan membuat para pemilik taksi bangkrut? Terbukti enam perusahaan taksi skala kecil menengah di wilayah Jabotabek sepakat menurunkan tarif taksinya ke tarif lama, mengikuti jejak Taksi Putra dan Taksi Ekspres.
Berdasarkan pengalaman, menggunakan taksi argo lama, yang masih memasang tarif Rp 4.000 untuk buka pintu dan Rp 1.800 per kilometer, tidak berarti keamanan dan kenyamanan saya terganggu. Saya selalu merasa aman dan nyaman setiap kali naik Putra atau Ekspres, senyaman naik Blue Bird.
Bayangkan, kalau saya yang hampir setiap hari naik taksi harus memakai Blue Bird dkk. Berapa juta yang harus saya keluarkan setiap bulannya. Mereka memasang tarif buka pintu Rp 5.000 dan per kilometernya Rp 2.500. Yang menjadi masalah bukan pada tarif buka pintunya tapi pada tarif kilometer yang hampir naik 50% dari tarif lama. Kenaikan yang sangat terasa banget!
Terkadang saya mau tidak mau harus mengalah harus naik Blue Bird kalau sudah mengejar waktu. Maklum jumlah armada mereka sangat banyak, sampai belasan ribu.
Blue Bird sendiri merasakan imbas yang sangat signifikan dengan ramai-ramainya para pengelola taksi menurunkan tarif. Kini mereka cukup gencar beriklan di media cetak, menawarkan diskon 20% bagi pelanggan yang menggunakan sistem voucher. Baik pelanggan perorangan maupun perusahaan.
Dari obrolan dengan para supir taksi, tentatif mereka yang menggunakan tarif lama lebih bisa memenuhi setoran daripada yang memakai tarif baru. Bahkan dalam kasus tertentu untuk mengejar setoran, para awak taksi tarif baru, kerap memaksakan “borongan” kepada penumpang. Ini biasanya terjadi di terminal bus, stasiun kereta dan bandara udara.
Tindakan tersebut, walaupun salah, pada titik tertentu bisa dimaklumi. Karena bagaimana pun mereka butuh hidup. Menurut saya, jauh lebih penting adalah membenahi regulasi pertaksian. Lihat saja, di tengah makin sulitnya memenuhi uang setoran, masih ada saja taksi baru yang bermunculan. Seharusnya pemerintah membatasi jumlah armada taksi yang beredar. Selain itu pemerintah juga harus menaikkan jumlah armada minimum bila ada orang atau perusahaan mau membuka armada baru. Peraturan yang ada sekarang memungkinkan seseorang memiliki perusahaan taksi sendiri dengan armada hanya 50 taksi. Makanya jangan heran bila banyak merek taksi tak jelas beredar di jalanan. Menurut saya, seharusnya ijin baru diberikan kalau armadanya minimal 500 taksi.
Ini tentunya makin membuat persaingan antartaksi semakin sengit. Tidak berlebihan bila terkadang ada awak taksi yang nakal, hingga melakukan perampokan terhadap penumpang. Untuk mengatasi permasalahan ini, ada baiknya juga pemerintah melakukan pemeriksaan taksi secara berkala. Bila ketahuan ada pengemudi taksi yang tidak bisa menunjukkan jati dirinya sebagai pengemudi taksi bersangkutan, seharusnya dijatuhi denda yang cukup besar dan mobilnya langsung disita sementara. Sedikit banyak ini akan menimbulkan efek jera bagi para “sopir tembak”.
Persoalannya sekarang apakah pemerintah punya political will untuk melakukan pembenahan? Atau sudah merasa kenyang dengan ang pau yang diberikan para pemilik taksi untuk mendapatkan izin dan privillege lainnya.***
1 Comments:
Perlu ada contoh standart pelayanan pertaksian yang dikelola oleh pemda dan menjadi standarisasi pelayanan, seperti hal-nya Busway menjadi standarisasi pelayanan untuk angkutan bus di Ibu Kota Jakarta
Post a Comment
<< Home