Friday, April 15, 2005

Bisnis Resto

Mendung mulai menyelimuti Jakarta, ketika taksi yang saya tumpangi dari Pulogadung menuju Mega Mall Pluit. Benar saja, ketika akan sampai di tempat tujuan, hujan deras mengguyur. Syukurlah, saya tidak sampai terkena macet.

Setelah sekian tahun berdiri, baru kali ini saya menginjak Mega Mall Pluit. Dulu ada teman chatting yang mengajak ketemuan di sini, tapi memikirkan macet dan jauhnya, saya dengan halus menolak. Tapi tidak kali ini. Tanpa diminta pun saya punya keinginan besar untuk datang. Apa pasal?

Alkisah, seorang teman SMA saya kabarnya membuka resto di sana dan kebetulan sang teman tersebut adalah figur yang pernah membuat jantung saya deg-degan. Ketika saya konfirmasi ke dia, memang benar adanya bahwa resto itu miliknya. Bangga juga punya teman yang membuat usaha resto di belantara Jakarta ini. Dan ada sejumput penasaran untuk tahu lebih banyak tentang resto yang diberi nama Blue Platter. Terlebih lagi, tempat kerja saya sekarang merupakan online media city guide. Jadi lebih klop lagi, bukan!? :D

Ketika memasuki resto tersebut, yang pertama-tama menarik perhatian saya adalah tumpukan buku-buku tua berbahasa asing yang menjadi bagian inheren dari dinding yang terletak di sebelah kanan dari pintu masuk. Benar-benar menarik perhatian, walaupun saya tidak tahu pasti apa korelasinya dengan konsep resto tersebut. Tapi, secara keseluruhan ornamen2 yang ada di dinding cukup menarik perhatian.

Beberapa lama berada di sana sembari memandang sekeliling dan mencicipi menu yang ada, kesimpulan akhir yang bisa saya ambil adalah resto ini butuh pembenahan di sana-sini kalau mau lebih menarik pengunjung. Mulai dari soal meja-kursi yang kurang menarik dan tidak membuat orang betah berlama-lama, tata cahaya yang standar hingga penyajian menu yang kurang mengundang selera makan--walaupun setelah mencicipinya sebenarnya rasanya lumanyan enak juga.

Bisnis resto memang bukan sesuatu yang gampang, terlebih di Jakarta ini, tempat beragam pusat jajan bertebaran di seantreo pusat keramaian hingga sudut-sudut kota. Lihat saja, setiap pusat perbelanjaan pasti punya food court dengan beragam pilihan. Bahkan ada tempat yang memang khusus dibangun buat pusat jajan model Bale Air di Gatot Subroto atau Setiabudi One di Kuningan.

Memang kalau dikelola dengan baik, bisnis resto sangat menggiurkan. Beberapa rekan bisnis saya, yang juga membuka resto, bisa break event point (BEP) hanya dalam tempo enam bulan, padahal investasi yang ditanamkan sampai milyaran. Tapi ada juga yang terpaksa tutup atau dijual ke orang lain karena merugi atau tidak menguntungkan.

Pelajaran yang saya dapat dari pengalaman rekan-rekan bisnis yang bergerak di bisnis resto dan pengamatan di lapangan adalah, pertama-tama, sang pengelola harus benar-benar tahu pasar yang hendak dituju mulai dari soal faktor demografis hingga psikografi. Yang kedua adalah soal keseimbangan harga dan rasa. Hukum ini berlaku untuk resto-resto model food court. Sementara bila ia berdiri sendiri atau berada di pusat jajan model Setiabudi One, hukum ini harus ditambah lagi dengan atmosfir, jadi harga + rasa + atmosfir. Di sini masalah penataan ruang sangat menentukan.

Yang ketiga adalah services: bagaimana cara menghadapi konsumen, soal higienitas hingga masalah penyajian menu yang harus disesuaikan dengan jenis menu dan konsep resto secara keseluruhan.

Hal keempat adalah brand building. Jenis jasa apa pun yang Anda miliki, brand building ini sangat penting peranannya. Seorang rekan bisnis saya, yang bergerak di resto & lounge, benar-benar sadar atas yang satu ini. Masalah flyer saja bisa menjadi masalah besar bagi dia kalau dirasa tidak sesuai dengan image tempat usahanya. Tapi terbukti, tiga usaha resto & lounge-nya sukses secara komersial.

Last but not least, keterlibatan langsung pemilik modal. Bisnis resto adalah bisnis selera (taste) dan taste sang pemilik modal lah yang akan menentukan masa depan resto tersebut. Tentunya, ia/mereka harus ditopang oleh orang-orang profesional di dalamnya.**

0 Comments:

Post a Comment

<< Home