Mau tahu resep ampuh untuk memberantas para pengemis yang ada di ibukota Jakarta? Hukum saja para pengemis dan mereka-mereka yang memberi sedekah! Resep itulah yang ditawarkan Pemda dan DPRD DKI Jakarta. Resep yang tertuang dalam revisi Perda No. 11/1988 tentang Ketertiban Umum. Pasal 40 dalam perda tersebut mencantumkna larangan untuk membeli dari pedagang asongan yng berjualan tidak pada tempatnya dan memberikan sedekah, beruapa uang atau barang kepada pengemis dan pengamen.
Bagi mereka yang melanggar pasal tersebut, diancam hukuman pidana kurungan paling singkat 10 hari dan paling lama 60 atau denda minimal Rp 100.000,- dan maksimal Rp 20.000.000,-
Kalau kita memakai kacamata hukum permintaan-penawaran, sebab-akibat, apa yang dilakukan Pemda DKI sudah pada tempatnya. Pengemis, pengamen dan pedagang asongan jalanan masih ada dan terus bertambah karena ada permintaan. Masih banyak orang yang ingin bersedekah, maka pengemis tetap bisa makan; masih banyak orang yang suka memberikan recehan kepada pengamen karena belas kasihan atau karena senang mendengar lagu dan suara pengamennya; masih banyak orang yang membeli minuman atau cemelin atau produk murah-meriah dari pedagang asongan karena terlalu banyaknya waktu dihabiskan di jalan yang sumpek, panas dan macet.
Logikanya, bila para pemberi sedekah, pemberi receh dan pembeli asongan pada dipenjara, otomatis permintaan akan berkurang. Berkurangnya permintaan akan mengurangi penawaran juga. Ini berarti jumlah pengasong, pengamen dan pengemis akan berkurang atau malah lenyap sama sekali dari bumi Jakarta. Betap indahnya, betapa gemah ripah loh jinawi-nya Jakarta di mata dunia!
Sayang, persoalan „penyakit sosial“ ini tidaklah sesederhana hukum permintaan-penawaran. Apakah pemerintah sadar bahwa keberadaan mereka tidak semata-mata masalah permintaan-penawaran tapi lebih kepada kondisi sosial yang memaksa? Apakah pemerintah pernah sadar kalau para pengemis, pengasong dan pengamen itu dipaksa untuk melepas “profesi”-nya mereka akan beralih ke “penyakit sosial” yang lebih parah?
Dengarlah suara pengamen di bis-bis kota. „Daripada kami merampok, mencopet, maling, kami lebih baik mengamen.“ Kalimat ini mungkin sudah akrab di telinga para pengguna bis kota. Terkadang nadanya mengancam, tapi itulah sesungguhnya suara hati mereka. Mereka masih memilih jalan halal daripada haram. Ketika jalan halal sudah tertutup, jangan terkejut bila jalan haram akan merajalela.
Ini bukan sekadar hipotesis, saudara-saudara. Yakinlah, bila Pasal 40 di atas benar-benar diterapkan, siap-siaplah untuk menjadi korban maling, copet, begal dan sejenisnya. Saya jadi teringat sebuah survei yang dilakukan salah satu media massa di tanah air. Survei tersebut menyimpulkan bahwa rasa aman di kalangan masyarakat ibukota semakin meningkat, terbukti dari para penumpang bis yang sudah terbiasa ber-sms-telpon-ria di bis kota, tanpa merasa takut ponselnya akan dirampok atau dicopet pas turun bis.
Selain itu, pelarangan orang memberi kepada pengemis dan pengamen juga mengalami cacat filosofis. Saya jadi teringat kutipan kata-kata bijak dari St. Ambrose, yang dikumandangkan oleh pastor saya di gereja Minggu lalu. Demikian bunyinya: „When giving to the poor you are not giving him what is yours; rather you are paying back to him what is his. Indeed what is common to all and has been given to all to make use of, you have usurped for yourself alone. The earth belongs to all, and not only to the rich; yet those who do not enjoy it are fat fewer than those who do. You are paying back, therefore, your debt; you are not giving gratuitously what you do not owe.”
Memberi kepada pengemis merupakan suatu tindakan sosial, memberi apa yang sebenarnya sudah menjadi hak mereka. Apakah pantas orang yang mengembalikan milik orang lain dihukum?***
NB: Seorang teman sempat bertanya kepada saya via YM, apakah blog saya yang satu ini tidak akan di-update lagi? Waktu itu, saya kebetulan tidak sempat menjawab. Dan inilah jawabannya... heheehe
0 Comments:
Post a Comment
<< Home