Dari tanggal 16-20 November lalu, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta sedang giat-giatnya melakukan Operasi Yustisi Kependudukan. Dari operasi tersebut terjaring 1.172 orang. Dari jumlah tersebut 475 orang di antaranya diajukan ke sidang pengadilan dan dikenai sanksi pidana ringan. Sanksi denda dari pengadilan menghasilkan pendapatan terhadap kas negara sebesar Rp 10.151.000. Sisanya 697 orang dipulangkan ke kampungnya masing-masing dan biayanya ditanggung oleh pemerintah.
Ada beberapa fakta menarik dari data tersebut di atas. Pertama hasil Operasi Yustisi tersebut sangat kecil dibandingkan jumlah pendatang yang coba mengadu nasib ke ibukota pascalebaran. Diperkirakan setiap tahunnya, ada 200 ribu orang pendatang ke Jakarta.
Kedua, total pendapatan dari hasil operasi tersebut tidak sebanding dengan biaya pengiriman pulang mereka ke kampung halamannya. Asumsikan saja ongkos naik bis sekarang Rp 10-30 ribu naik bis ekonomi. Kalau kita pukul rata menjadi Rp 20.000 per orang, berarti pemerintah harus menyediakan dana sebesar Rp 13.940.000. Ada selisih rugi sebesar Rp 3.789.000.
Itu kalau kita bermain-main dengan angka. Tapi persoalan sesungguhnya lebih jauh dari itu. Pertama, urbanisasi telah mengakibatkan tetap tingginya angka kriminalitas di Jakarta. Kenapa, karena sebagian besar para pendatang tersebut tidak dibekali bekal ilmu dan keahlian yang mumpuni. Pada akhirnya ketika tidak mendapatkan pekerjaan di sektor formal maupun informal, mereka nekat menjadi pencoleng, perampok, penjambret dan sejenisnya demi bertahan hidup. Pulang ke kampung? Ogah! Karena malu atau merasa toh di kampung juga tidak bakal punya pekerjaan tetap, malah bisa nyusahin orang tua.
Pada titik ini sebenarnya pemerintah pusat harus membantu Pemprov DKI Jakarta untuk melapangkan jalan terbentuknya Megapolitan di mana di dalamnya terdapat Jakarta dan daerah-daerah sekitarnya. Ini harus dituangkan dalam bentuk undang-undang, tidak cukup hanya dalam bentuk Keputusan Presiden, misalnya.
Di sisi lain, pemerintah pusat juga harus lebih memaksimalisasi manfaat diberlakukannya otonomi daerah. Keberhasilan daerah dalam menggali potensi ekonominya masing-masing otomatis akan mengurangi jumlah urbanisasi ke ibu kota. Beberapa daerah telah menunjukkan keberhasilannya melaksanakan otonomi seperti Kabupaten Kutai-Kertanegara di Kalimatan dan Kabupaten Grianyar di Bali. Seharusnya ini bisa menjadi contoh bagi daerah-daerah lain.
Kalau hal ini bisa dilakukan, Pemda DKI tidak harus melakukan Operasi Yustisi tiap tahun, yang secara ekonomis malah merugikan dan tidak akan pernah pula bisa mengurangi angka urbanisasi. Yang harus dibenahi terlebih dahulu adalah akar persoalannya bukan eksesnya. ***
0 Comments:
Post a Comment
<< Home