Monumen Nasional
Seumur-umur, baru hari Sabtu lalu saya menginjakkan kaki di puncak Monumen Nasional (Monas) yang telah melegenda itu. Padahal saya sudah malang-melintang di belantara Jakarta ini lebih dari tujuh tahun. Memang pernah saya dan pacar (istri saya sekarang) ke Monas pas malam Tahun Baru, tapi sekadar keliling-keliling naik andong dan merasakan keramaiannya.
Kedatangan saya kedua kalinya Sabtu lalu bersama adik ipar saya. Maklum, ia baru kali ini menginjak Jakarta dan saya, akhirnya, menjadi guide-nya. Kebetulan istri saya tidak bisa karena sedang bekerja. Jadilah Monas menjadi salah satu tujuan. Sampai di sana sekitar setengah tiga sore.
Saya baru tahu, untuk masuk ke pelataran Monas, ternyata harus lewat lorong bawah tanah, yang pintu masuknya di samping patung Diponegoro. Sampai di loket, saya melihat ada dua harga tiket, mau cuma liat-liat di pelatarannya ato mau sampai ke puncak. Kami akhirnya sepakat untuk ambil sampai puncak, yang harganya lima kali lipat alias lima ribu rupiah. Petugas tiket sudah mewanti-wanti sebelumnya bahwa antrian ke puncak bisa sejam lebih. Peringatan yang tak menyurutkan niat kami.
Benar saja, antrian sudah mengular. Saya coba liat awal antriannya. Alamak! Ini sih bisa sampai dua jam. Wong lift-nya aja cuma satu dan hanya bisa memuat maksimum 11 orang. Yah, sudah kadung beli tiket dan niat, kami tetap mengantri.
Jam lima kurang sepuluh, akhirnya kami pun sampai di puncak Monas. Asyik juga memandang belantara beton Jakarta dari ketinggian. Jelas terlihat betapa udara Jakarta sudah sangat polutif. Gedung-gedung setelah Sarinah sudah kelihatan dibalut kabut.
Ketika turun lift, ada kejadian menarik yang sempat membuat saya geleng-geleng kepala. Di lantai 2, tiba-tiba seorang petugas berbisik kepada petugas lift, ada seorang bapak dan anaknya ingin ke puncak (lantai 3) dan mereka sudah bayar sepuluh ribu ke dia. Sang petugas lift pun memasukkan mereka berdua. Ini dia nih, ciri orang Indonesia yang nggak mau ngantri, ingin jalan pintas saja.
Di lantai bawah tanah, terdapat museum yang berisikan sejarah perjalanan bangsa Indonesia berupa replika. Sayang, beberapa teks yang menceritakan replika-replika tersebut tidak bisa dibaca karena lampu penerangannya mati. Yang menarik lagi, ada satu tempat, yang di dalamnya, Pemprov DKI menjejerkan program pembangunan Jakarta, termasuk proyek Monorel dan pengembangan Kawasan Terpadu Senen.
Oh, iya, ada satu hal lagi yang menarik perhatian saya. Ketika mengantri, kita "dininabobokan" dengan instrumentalia lagu-lagu nostalgia yang kerap dibawakan Yuni Shara. Aneh! Di Monumen Nasional kog lagunya cinta-cintaan. Bukankah lebih baik menggemakan lagu-lagu patriotisme untuk memupuk rasa nasionalisme? **
0 Comments:
Post a Comment
<< Home