Hidup Melajang?
Barusan saya chatting dengan seorang teman soal kerjaan. Sejurus kemudian, topik beralih tentang "perjodohan." Ceritanya, teman saya ini memiliki banyak teman perempuan yang masih single alias belum punya pasangan.
Kemarin, seorang klien saya, yang kebetulan perempuan, mengeluh tentang tempat kerjanya sekarang, yang mengharuskan dia harus kerja malam. Pekerjaan yang mengakibatkan ia harus putus dengan pacarnya.
Ada pula teman perempuan saya yang dua hari lalu merayakan ulang tahunnya yang ketiga puluh dan belum punya pacar.
Tiga kasus di atas kembali mengusik pikiran saya tentang pengaruh kehidupan metropolis terhadap "perjodohan." Sudah bukan rahasia umum lagi banyak perempuan di Jakarta yang lebih memilih hidup melajang daripada bersuamikan orang yang tidak sesuai dengan "standar" yang dia inginkan.
Sebagian dari mereka, pertama-tama akan melihat apakah lelaki tersebut bisa diandalkan secara ekonomi atau tidak, dan penilaian ini dilihat dari apa yang ia capai saat ini, bukan potensi yang ada dalam dirinya.
Kedua, ada pula yang menjadikan tampang menjadi kriteria, seakan-akan lelaki itu harus bisa menjadi "pajangan" yang akan selalu membuat teman-temannya angkat jempol terhadap pilihannya. Namanya juga hidup di Jakarta. Hal-hal lahiriah dan artifisial itu sering kali lebih penting dari pada yang hakiki.
Pada hemat saya, bila kedua hal ini dikesampingkan, sebenarnya bukanlah perkara yang sulit untuk mendapatkan jodoh di belantara Jakarta ini. Toh komposisi lelaki dan perempuan usia muda di Jakarta cukup berimbang.
Yang harus dilakukan sebenarnya adalah "menurunkan" standar yang ada. Be realistic! Hukum ini berlaku bagi mereka yang merasa dirinya cantik dan sejenisnya. Kenapa? Sebentar lagi akan ada penjelasannnya.
Bagaimana kalau Anda kebetulan perempuan yang biasa-biasa saja tampangnya? Dalam berbagai kasus, saya melihat banyak perempuan jenis ini yang menjadi "minder" bila berhadapan dengan lelaki. Ada juga yang pada akhirnya mengambil langkah gagah, merasa diri cantik dan belagak. Dua pendekatan yang tidak pada tempatnya.
Sebagian besar perempuan melupakan fakta bahwa sebagian besar lelaki, pertama-tama, tidak melihat tampang atau body ketika pada akhirnya dia harus memilih pasangan hidup. Just for fun or sex, mungkin! Kalau kebetulan dapat tampang oke, ya syukur, kalo juga tidak apa-apa. Jauh lebih penting adalah inner beauty, karena inilah yang bakal menentukan bagaimana masa depan mahligai keluarga.
Inner beauty. Inilah sebenarnya irisan yang menyatukan sepasang manusia. Hal-hal yang lain hanyalah pelengkap. Nggak percaya!? Coba napak tilasi perjalanan hidup Anda. **
4 Comments:
Waduh Oom, baru sempet mampir-mampir lagi nih. Asik juga ya blog Anda? :)) Gue baca profilenya jadi geli... tulll!!! Om Dans tu pemimpi banget!!! Tapi hare gene kalo ga jadi pemimpi, ya gimana mau kreatif... tul ga... ditunggu deh masa jayanya mata-mata... biar someday bisa bilang, "Gue lulusan mata-mata lho..."
This comment has been removed by a blog administrator.
Pertanyaan yang sama juga sering menghantui pikiran saya. Mengapa beberapa teman wanita saya, yang kalau dilihat punya wajah yang manis, begitu jauh dari Sang Cupid? Apakah mereka memang tak mencari pria untuk dinikahi atau tak butuh lagi sosok itu untuk melengkapi hidup mereka. Ternyata, bisik punya bisik dengan seorang teman lain, jawabannya cuma satu (dalam logat Sing-lish--Singaporean English): "Aiya... She's too picky lah..."
gak sangka bisa nulis, bobonya udah gak disofa lagi ya....
dah ada 'kasur'
Post a Comment
<< Home