Sunday, September 04, 2005

Aksi Damai Antar Umat Beragama

Hari Sabtu kemarin, Bundaran Hotel Indonesia dipenuhi ribuan orang. Tampak hadir beberapa tokoh lintas-agama, termasuk di dalam mantan Presiden RI, Gus Dur, yang duduk anteng di kursi rodanya. Aksi ini merupakan reaksi dari penutupan beberapa Gereja di Jawa Barat, yang setelah beberapa bulan telah menjadi berita bisik-bisik di kalangan umat Nasrani, akhirnya menjadi pemberitaan nasional jua.

Kenapa bisa terjadi tindakan anarkis tersebut? Bagi saya ada tiga pihak yang harus bertanggung jawab di sini. Pertama, dari pihak rumah ibadah itu sendiri. Kita tidak bisa menutup mata bahwa beberapa di antara aliran Kristen Protestan terlalu fanatik menerjemahkan perintahkan menyebarkan "Kabar Gembira" ke seluruh pelosok dunia. Terlalu muka tembok, tidak lihat-lihat sikon dan kurang smart dalam bertindak. Ini memang bisa menjadi pemicu penutupan dan perusakan rumah-rumah ibadah.

Kedua, para ustad dan kawan-kawan, termasuk pemimpin informal dari kalangan umat Islam, yang beberapa di antaranya merasa terusik dengan kehadiran gereja-gereja tersebut. Ada inferioritas--yang tak pernah "dikotbahkan" di kalangan umat--terhadap "kepedean" jemaat lain atas "Kabar Gembira" yang mereka miliki. Mereka takut kalau mereka tidak dihadang segera, jumlah umat mereka perlahan-lahan akan menurun. Dulu, saya pernah membaca di majalah Sabili, yang topik utamanya tentang Kristenisasi, mengenai fakta dan data berkurangnya umat Islam karena "kristenisasi".

Ketiga, kebijakan pemerintah yang tidak kondusif bagi toleransi antar umat beragama. SKB Menteri tentang rumah ibadah selama ini menjadi pembenaran untuk tindakan anarkhis terhadap gereja-gereja yang ada. Menurut saya, sudah saatnya SKB tersebut direvisi, karena lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Yang harus di-SKB-kan seharusnya adalah toleransi hidup beragama bukannya membatasi ibadah orang lain. Saya pribadi tidak pernah merasa terganggu tuh, biarpun di sebagian besar hidup saya selalu tinggal di dekat mesjid yang tiap pagi selalu membangunkan saya dengan towa-nya. Sementara gereja yang tidak pernah bertowa-ria dianggap mengganggu. Yang ingin saya katakan adalah, kita butuh kearifan di sini.

Kita harus mengembalikan agama kepada kittahnya sebagai pegangan hidup. Ketika agama tertentu dirasa seseorang tidak lagi bisa menjadi pegangan hidupnya untuk bertemu dengan Khalik-nya, kenapa kita harus ngotot memaksanya? Saya selalu percaya, agama adalah masalah private, bukan public, karena ini berkaitan langsung dengan Sang Pencipta.

Mari kita bertanya kepada diri sendiri: apakah ketika kita memeluk agama tertentu, otomatis kita masuk surga? Lihat sekeliling kita, banyak orang yang selalu sholat lima waktu, ke gereja tiap minggu, tapi kelakuannya tidak lebih baik dari seorang pencoleng atau perampok. Tapi, banyak juga orang yang menyebut dirinya tidak mengakui keberadaan Tuhan, tapi dalam tingkah polahnya sehari-hari ia sebenarnya telah mengamalkan ajaran-Nya. Siapa yang lebih pantas masuk surga?***