Friday, November 10, 2006

Pasar Tanah Abang

Pasar Tanah Abang kembali menjadi berita. Kali ini adalah tindakan Pemda DKI memagari Blok B, C, D dan E yang dinilai melanggar hukum. Hingga hari ini, ribuan pedagang tetap ngotot berjualan di tempat mereka walaupun dipagari seng.

Kenapa Pemda ngotot memindahkan para pedagang tersebut ke Blok A, yang dibangun serba modern itu? Alasannya sangat manusiawi sekali. Bangunan-bangunan tersebut dinilai sudah tidak layak huni lagi karena konon konstruksinya sudah rapuh paskakebakaran beberapa tahun lalu.

Namun, di mata para pedagang, alasan itu hanya dibuat-buat. Karena mereka punya sumber informasi lain, yang menyebutkan bahwa bangunan tersebut masih bisa bertahan hingga beberapa tahun lagi. Di lain pihak, kontrak mereka dengan pemerintah masih berlaku hingga tahun 2007. Belum lagi, tindakan Pemda yang dirasa kurang melibatkan para pedagang dalam perencanaan peremajaan pasar tersebut.

Terlepas dari pro-kontra tersebut, ada yang menarik perhatian saya ketika membicarakan pasar yang satu ini. Di Pasar Tanah Abang, sekarang telah berdiri megah Pasar Blok A, yang hingga kini sebagian besar masih belum dihuni para pedagang. Begitu pula dengan Metro Tanah Abang, yang berada di seberangnya.

Kehadiran kedua pasar modern ternyata tidak menjadikan pasar lama menjadi sunyi pembeli. Konsumen ternyata masih lebih suka belanja sembari bersesakan-berkeringat. Mereka tidak butuh pendingin udara atau lapangan parkir yang lapang seperti ditawarkan kedua pasar modern tersebut.

Ajaibnya, ketika Blok A dan Metro Tanah Abang sepi pedagang, tidak jauh dari situ berdiri megah Jakarta City Center, yang lagi-lagi mengusung kelebihan sebagai pasar modern, mengimpikan diri sebagai pusat grosir terbesar dan termegah di Tanah Abang. Nasibnya? Idem dito dengan Blok A dan Metro Tanah Abang!

Menurut hemat saya, sepanjang Blok B, C, D dan E masih berdiri tegak, ketiga pasar modern tersebut akan pernah disesaki pengunjung. Dan ini sepertinya disadari oleh para pengelola.

So, silahkan ambil kesimpulan sendiri, apakah kengototan para pedagang Blok B, C, D dan E akan berhasil meluluhkan niat Pemda DKI atau tidak? ***


Tuesday, November 07, 2006

Pemasaran Melalui Situs Web

Barusan saya menelpon Izzi Pizza Menteng, memesan Beef 'n Izzi untuk di antar ke kantor. Saya tahu nomor telpon mereka dari situs webnya. Telpon punya telpon akhirnya si mbak di seberang sana mengkonfirmasikan harga pesanan saya. Saya sedikit terkejut ketika harga yang dia katakan jauh dari badrol yang ada di situsweb mereka. Ketika saya menanyakan perbedaan harga ini, si mbak-nya mengatakan bahwa harga di situsweb tersebut mungkin harga lama. Ya, sutralah... Saya mengiyakan memakai harga baru, secara saya lebih membutuhkan box-nya untuk jadi contoh bagi designer saya yang sedang menggarap proyek klien.

Kejadian di atas lagi-lagi menyadarkan saya betapa banyak pemilik situsweb di negeri ini kurang menghargai situsweb-nya sendiri sebagai alat pemasaran. Pengalaman saya membuat situsweb perusahaan dan menjelajahi situs-situsweb perusahaan yang ada menunjukkan bahwa sebagian besar dari mereka ogah-ogahan meng-update situsweb-nya. Malah banyak di antaranya sekadar ada, hanya untuk status atau karena memang tuntutan pasar.

Anehnya, akhir-akhir ini saya sering mendapatkan kartu nama yang di dalamnya telah mencantumkan alamat website perusahaan. Tapi ketika diklik informasi yang ada hanya segitu-gitunya. Banyak pula perusahaan yang sekadar memakai domain name untuk alamat surat-menyurat. Aneh, punya domain name untuk surat-menyurat, tapi tidak punya situsweb!

Saya menyadari bahwa banyak perusahaan ogah membuat situsweb karena melihatnya sebagai beban biaya tersendiri, yang memberatkan biaya operasional perusahaan. Padahal, pada hemat saya, membuat situsweb perusahaan itu tidak mahal-mahal amat. Sangat tergantung kepada apa tujuan dari situsweb tersebut dilakukan. Dengan duit Rp 5 juta, mereka sebenarnya sudah bisa mendapatkan situsweb yang bagus. Ditambah biaya hosting dan perawatan setahun, katakan totalnya menjadi Rp 8 juta. Masih murah, bukan? Berikutnya beban biaya tinggal Rp 3 juta per tahun.

Memang untuk mendapatkan situsweb yang lebih bagus, harganya lebih bagus juga. Tapi tidak perlu sampai ratusan juta. Berdasarkan pengalaman, dengan biaya Rp 50 juta-an, Anda sudah bisa mendapatkan situsweb yang cukup canggih.

Kembali ke contoh kasus di atas, kalau sedari awal pihak Izzi Pizza melihat situsweb sebagai alat pemasaran, sudah seharusnya mereka melakukan update berkala. Sehingga orang seperti saya tidak harus terkejut karena selisih harga yang ada di situsweb dan di outlet. Di sisi lain, ini akan menambah kepercayaan saya terhadap Izzi Pizza.

Berdasarkan data yang ada, 40% pengguna internet di Indonesia mengakses internet melalui kantor. Ini sebenarnya merupakan pangsa pasar potensial. Karena mereka sudah memiliki penghasilan sendiri dan cenderung konsumtif. Menggunakan internet untuk menggugah minat mereka tentunya menjadi salah satu pilihan yang sangat pantas untuk dicoba.***