Thursday, October 04, 2007

Bulak Kapal-Tambun

Seharusnya judul tulisan ini adalah: Secarik Catatan Sepanjang Pinggir Jalan Bulak Kapal-Tambun: Potret Kecil Kota Kecil di Pinggiran Jakarta. Judul yang sangat panjang, bukan? Bila saya seorang wartawan, saya pasti sudah akan dicaci-maki redaktur saya. Dianggap tidak becus menerapkan prinsip bahasa jurnalistik: sipajelume (singkat, padat, jelas, lugas dan mengena). Judul panjang di atas pun akan terkesan seperti kertas kerja untuk materi seminar.

Tapi, bukan karena dua pertimbangan di atas saya mempersingkat judul tulisan ini menjadi hanya tiga kata. Saya tiba-tiba saja teringat dengan puisi Bung Chairil Anwar, Karawang-Bekasi, puisi yang sarat pesan perjuangan, pesan untuk mengisi kemerdekaan yang telah ditebus dengan darah dan air mata. Apa yang saya tulis di sini adalah potret kecil bagaimana kemerdekaan tersebut diisi dewasa ini.

Saya telah sekitar tiga tahun berdiam di Tambun. Setiap hari pulang-pergi kerja, saya selalu melewati Bulak Kapal. Jadilah sepanjang jalan Bulak Kapal-Tambun makanan saya sehari-hari, terutama memakan debu-debu jalanan.

Menyusuri Bulak Kapal-Tambun, Anda akan disuguhi ratusan ojek yang pinggir jalan. Konsentrasi terbesar adalah di pertigaan lampu merah Bulak Kapal dan sepanjang Pasar Tambun. Hukum yang berlaku di sini adalah: Ojek tidak pernah salah! Bila ada mobil yang terserempet ojek yang ugal-ugalan, mobillah yang salah, bukan ojek. Bila berani melawan, siap-siaplah diserbu puluhan tukang ojek. Menjadi pengojek merupakan cara mempertahankan hidup ketika mereka terkena pemutusan kerja atau tidak mendapat kesempatan mengisi lowongan kerja yang ada. Maklum dengan uang muka setengah juta, mereka sudah bisa memiliki sepeda motor dan membayar cicilan harian. Demi cicilan harian dan uang makan harian inilah, mereka suka berjibaku menyerempet bahaya demi mendapatkan penumpang.

Gampangnya memiliki sepeda motor ini juga menjadi faktor signifikan banyaknya kecelakaan lalu lintas. Saya telah menyaksikan belasan kecelakaan bermotor yang merenggut jiwa ketika pulang atau pergi bekerja. Kecelakaan yang melibatkan sepeda motor pula yang menjadi salah satu kasus terbanyak yang ditangani istri saya, yang kebetulan menjadi dokter UGD, di salah satu rumah sakit di kawasan Tambun.

Awal tahun pertama saya tinggal di Tambun, setiap malam, ketika pulang kerja, saya hanya melihat dua tiga orang waria yang sedang menjajakan diri. Beberapa bulan terakhir, bukan hanya jumlah waria yang bertambah, bahkan penjaja seks komersial (PSK) perempuan pun mulai menjamur. Mereka berdiri di pinggir jalan, menunggu mangsa. Di salah satu hotel, yang dekat dengan perakitan sepeda motor Suzuki, hampir selalu ada PSK yang nongkrong di warung pinggir jalan di depan hotel tersebut.

Di pinggir jalan pula lah, sekitar setahun yang lalu, karyawan perusahaan Takeda, yang terkenal dengan permen vitamin C-nya, mengelar tenda keprihatinan selama berbulan-bulan menuntut hak-hak mereka setelah di-PHK. Jejak yang kemudian diikuti karyawan Teh Botol Sosro sekitar dua bulan lalu, ketika mereka terkena kasus yang sama.

Ojek, PSK dan PHK adalah potret belum tuntasnya krisis moneter multidimensi negeri ini. Mereka semua memperjuangkan nasib di pinggir jalan. Pinggir jalan pula yang menjadi cermin tidak becusnya pemerintah daerah Bekasi mengurus perekonomian daerahnya. Contoh sederhana saja. Setiap musim hujan, jalan sepanjang pusat perakitan motor Suzuki selalu menjadi muara air hujan. Air tergenang hingga lebih sepinggang. Macet dan mobil mogok adalah pemandangan biasa. Tidak terlihat ada upaya pemerintah untuk mengatasi banjir lokal ini. Bagaimana mungkin mau menarik investor asing bila menangani hal kecil saja tidak sanggup?

Bercerita tentang Tambun tentunya tidak bisa dilepaskan dari Pasar Tambun. Seperti pasar tradisional pada umumnya, Pasar Tambun terlihat kumuh, semberaut dan becek di kala hujan. Kalah mentereng dengan pasar modern di sekitarnya. Bayangkan saja sepanjang Bulak Kapal-Tambun, yang tidak lebih dari lima kilometer ada satu pasar swalayan dan satu hypermarket. Malah, sebelumnya ada tiga, satu tutup pasca-lebaran tahun lalu. Ya, sebagian masyarakat ternyata masih lebih menyenangi pasar becek dan semberaut daripada pasar berpendingin udara dan tertata rapi.

Di beberapa titik pinggir jalan sepanjang Bulak Kapal-Tambun ini pula kita bisa melihat prakter korupsi dilakukan secara terang-terangan. Pungutan liar terhadap awak angkutan umum merupakan pemandangan biasa. Kemacetan di beberapa tempat, khususnya di lampu merah karena angkutan umum yang mangkal seenaknya adalah buah sogokan terhadap aparat.

Pinggir jalan adalah cermin bening yang tidak akan pernah berbohong bercerita tentang bagaimana kehidupan sosial-ekonomi suatu masyarakat berlangsung.***

Wednesday, October 03, 2007

Dilarang Memberi Sedekah!

Mau tahu resep ampuh untuk memberantas para pengemis yang ada di ibukota Jakarta? Hukum saja para pengemis dan mereka-mereka yang memberi sedekah! Resep itulah yang ditawarkan Pemda dan DPRD DKI Jakarta. Resep yang tertuang dalam revisi Perda No. 11/1988 tentang Ketertiban Umum. Pasal 40 dalam perda tersebut mencantumkna larangan untuk membeli dari pedagang asongan yng berjualan tidak pada tempatnya dan memberikan sedekah, beruapa uang atau barang kepada pengemis dan pengamen.

Bagi mereka yang melanggar pasal tersebut, diancam hukuman pidana kurungan paling singkat 10 hari dan paling lama 60 atau denda minimal Rp 100.000,- dan maksimal Rp 20.000.000,-

Kalau kita memakai kacamata hukum permintaan-penawaran, sebab-akibat, apa yang dilakukan Pemda DKI sudah pada tempatnya. Pengemis, pengamen dan pedagang asongan jalanan masih ada dan terus bertambah karena ada permintaan. Masih banyak orang yang ingin bersedekah, maka pengemis tetap bisa makan; masih banyak orang yang suka memberikan recehan kepada pengamen karena belas kasihan atau karena senang mendengar lagu dan suara pengamennya; masih banyak orang yang membeli minuman atau cemelin atau produk murah-meriah dari pedagang asongan karena terlalu banyaknya waktu dihabiskan di jalan yang sumpek, panas dan macet.

Logikanya, bila para pemberi sedekah, pemberi receh dan pembeli asongan pada dipenjara, otomatis permintaan akan berkurang. Berkurangnya permintaan akan mengurangi penawaran juga. Ini berarti jumlah pengasong, pengamen dan pengemis akan berkurang atau malah lenyap sama sekali dari bumi Jakarta. Betap indahnya, betapa gemah ripah loh jinawi-nya Jakarta di mata dunia!

Sayang, persoalan „penyakit sosial“ ini tidaklah sesederhana hukum permintaan-penawaran. Apakah pemerintah sadar bahwa keberadaan mereka tidak semata-mata masalah permintaan-penawaran tapi lebih kepada kondisi sosial yang memaksa? Apakah pemerintah pernah sadar kalau para pengemis, pengasong dan pengamen itu dipaksa untuk melepas “profesi”-nya mereka akan beralih ke “penyakit sosial” yang lebih parah?

Dengarlah suara pengamen di bis-bis kota. „Daripada kami merampok, mencopet, maling, kami lebih baik mengamen.“ Kalimat ini mungkin sudah akrab di telinga para pengguna bis kota. Terkadang nadanya mengancam, tapi itulah sesungguhnya suara hati mereka. Mereka masih memilih jalan halal daripada haram. Ketika jalan halal sudah tertutup, jangan terkejut bila jalan haram akan merajalela.

Ini bukan sekadar hipotesis, saudara-saudara. Yakinlah, bila Pasal 40 di atas benar-benar diterapkan, siap-siaplah untuk menjadi korban maling, copet, begal dan sejenisnya. Saya jadi teringat sebuah survei yang dilakukan salah satu media massa di tanah air. Survei tersebut menyimpulkan bahwa rasa aman di kalangan masyarakat ibukota semakin meningkat, terbukti dari para penumpang bis yang sudah terbiasa ber-sms-telpon-ria di bis kota, tanpa merasa takut ponselnya akan dirampok atau dicopet pas turun bis.

Selain itu, pelarangan orang memberi kepada pengemis dan pengamen juga mengalami cacat filosofis. Saya jadi teringat kutipan kata-kata bijak dari St. Ambrose, yang dikumandangkan oleh pastor saya di gereja Minggu lalu. Demikian bunyinya: „When giving to the poor you are not giving him what is yours; rather you are paying back to him what is his. Indeed what is common to all and has been given to all to make use of, you have usurped for yourself alone. The earth belongs to all, and not only to the rich; yet those who do not enjoy it are fat fewer than those who do. You are paying back, therefore, your debt; you are not giving gratuitously what you do not owe.”

Memberi kepada pengemis merupakan suatu tindakan sosial, memberi apa yang sebenarnya sudah menjadi hak mereka. Apakah pantas orang yang mengembalikan milik orang lain dihukum?***


NB: Seorang teman sempat bertanya kepada saya via YM, apakah blog saya yang satu ini tidak akan di-update lagi? Waktu itu, saya kebetulan tidak sempat menjawab. Dan inilah jawabannya... heheehe