Friday, May 27, 2005

Politikus Sejati

Julukan di atas sepertinya pantas diberikan kepada Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso. Julukan yang begitu saja muncul di kepala saya ketika membaca berita Sang Gubernur tiba-tiba menyerukan agar M. Taufik, Ketua KPUD Jakarta, dikenai tindakan cegah dan tangkal (cekal) karena telah menjadi tersangka dalam kasus korupsi sebesar Rp 168 milyar.

Berdasarkan informasi yang pernah saya dapat dari orang dalam KPUD Jakarta, Taufik merupakan orang dekat Sutiyoso. Jatah Ketua KPUD jatuh ke tangannya, itu atas permintaan Sutiyoso. (Konon, Taufik telah berjasa saat pemenangan Sutiyoso sebagai Gurbernur DKI untuk kedua kalinya). Dalam pemilihan internal, sebenarnya dukungan suara lebih banyak kepada salah seorang anggota KPUD yang lain, yang nota bene dekat dengan Wagub Fauzi Wibowo.

Menjadi pertanyaan saya sekarang: Kenapa Sutiyoso sampai angkat bicara tentang nasib Taufik dan yang sialnya, memojokkan pula? Saya melihat ini sebagai langkah Sutiyoso untuk menyelamatkan diri dengan mengorbankan "bidak".

Sulit dipungkiri, besarnya dana yang dikucurkan ke KPUD tidak terlepas dari kedekatan Taufik dengan Sutiyoso. Bayangkan saja, dana operasional komisi pemilu ini mencapai 168 milyar hanya untuk satu tahun anggaran!

Saya yakin, dikorbankannya Taufik oleh Sutiyoso merupakan trik politik tersendiri untuk menyelamatkan muka sendiri. Dalam contoh yang paling sederhana, bila nanti ada media yang menguak kedekatan Taufik dan Sutiyoso, Sang Gubernur bisa bilang bahwa dia tidak pandang bulu menegakkan hukum bagi pelaku korupsi. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui bukan!?

Mungkin juga masih segar dalam ingatan kita ketika terjadi geger politik lokal saat Megawati ngotot mengusung Sutiyoso untuk kembali menjadi Gubernur DKI dan untuk "langkah bodoh" ini Mega harus kehilangan kader utamanya, Ketua DPD DKI Jakarta. Akibat lebih jauh lagi, PDIP tidak lagi penguasa Jakarta. Akhir cerita, sinar PDIP meredup, tapi Sutiyoso tetap tegak berdiri!

Sutiyoso juga bisa lepas dari jeratan pelanggaran HAM saat penyerbuan kantor pusat PDI beberapa tahun lalu, yang korbannya sebenarnya adalah para pendukung Megawati sendiri.

Lihat pula gerakannya ketika "menyingkirkan" Chairul Tanjung dari tampuk Ketua Umum PBSI. Saya tidak percaya Icuk Sugiarto dkk. berani menggoyang Tanjung kalo tidak ada lampu hijau dari Sutiyoso.

Sutiyoso memang "manusia politik" dan ia pantas disematkan julukan "politikus sejati". Bukan begitu!? ***

Wednesday, May 25, 2005

Pilkada Tingkat RW

Dulu, ketika saya duduk di bangku sekolah, selalu diingatkan wujud demokrasi yang paling ideal itu ada di pedesaan, ketika rakyat desa memilih kepala desa mereka secara langsung. Pelajaran ini merupakan pengakuan tidak langsung bahwa sistem demokrasi yang sedang berlangsung saat itu, kala pemerintahan rejim Soeharto, bukanlah sistem demokrasi yang ideal. Ketika di perguruan tinggi, baru saya sadar apa sepenuhnya sistem demokrasi yang diterapkan rejim Soeharto, yaitu demo-crazy, demokrasi berdasarkan maunya sang penguasa aja, yang penuh dengan pertumpahan darah.

Barulah ketika rejim berganti, demokrasi di negeri ini perlahan-lahan menemukan bentuk hakikinya. Belum ideal memang, karena anggota DPR masih tidak sepenuhnya dipilih rakyat. Tapi, setidaknya, kita telah melangkah lebih maju.

Saking majunya, bahkan pemilihan Ketua RW pun memakai sistem pemilihan langsung, lengkap dengan kampanye segala. Inilah yang terjadi di RW 01 Kelurahan Karet, Jaksel, hari Selasa lalu (24/05). Menurut ketua panpel Pilkada mini ini, Hari Wibowo, seperti dikutip beritajakarta.com, kegiatan ini sebagai bentuk pembelajaran bagi warga RW 01 mengenai mekanisme pemilihan pemimpinnya secara demokratis, meskipun Pilkada yang sesungguhnya di wilayah DKI Jakarta baru akan dilangsungkan pada 2007 mendatang.

Berbeda dengan Pemilu lalu maupun Pilkada yang sedang dan akan berlangsung, yang menggerogoti APBN dan ABPD, pilkada mini ala RW 01 Kelurahan Karet, ini pembiayaannya sepenuhnya ditanggung oleh warga RW 01 dan juga diambilkan sebagian dari kas RW 01. Jadi, kemungkinan untuk korupsi tentunya sangat kecil banget!

Inovasi yang dilakukan RW 01 Kelurahan Karet ini pantas kita acungi jempol. Kalau ini ditiru oleh erwe-erwe lain, mungkin kita harus mengubah buku pelajaran sekolah. Pemilu langsung sebagai wujud demokrasi yang paling kecil cakupannya, tidak lagi pada pemilihan kepala desa, tapi sudah pada tingkat RW. Indonesia juga boleh jadi akan tercatat dalam buku-buku tentang demokrasi, yang melakukan pemilihan langsung hingga tingkat RW!

Proviciat RW 01 Kelurahan Karet, Jakarta!! ***