Saturday, May 07, 2005

Nasib Becak di Jakarta

Ada rasa kesal ketika saya membaca berita di beritajakarta.com hari ini yang berjudul "Ratusan Becak di Jakarta Utara Ditertibkan." Menurut Kasudin Tramtib dan Linmas Jakarta Utara, Toni Budiono, target akhir penerbitan becak tersebut adalah meniadakan becak di Jakarta. Saya tidak tahu pasti, apakah Sang Kasudin yang goblok atau ia hanya sekadar menjalankan perintah atasan, yang berarti goblok pula.

Kalau harus ada penertiban transportasi penduduk di pinggiran Jakarta, yang harus ditertibkan adalah ojek, bukan becak! Kenapa? Alasan pertama adalah lingkungan. Munculnya ribuan bahkan puluhan ribu ojek di seantreo Jakarta sejak krisis ekonomi lalu, telah menyumbang polusi lingkungan yang tidak sedikit terhadap udara Jakarta. Becak sama sekali tidak memicu polusi lingkungan. Belum lagi angka kriminalitas yang diakibatkan ulah para pengojek yang merampok atau memperkosa penumpangnya. Sesuatu, yang hingga kini belum pernah saya denger dilakukan tukang becak.

Yang ketiga, becak sebenarnya bisa dijadikan jadi ikon transportasi Jakarta , seperti halnya yang bisa dilakukan terhadap becak rekondisi yang lebih ramah lingkungan.

Terakhir, sikap ugal-ugalan pengojek yang kerap mengejar-ngejar bis yang hendak berhenti, benar-benar mengganggu kenyamanan pengemudi bis maupun penumpang yang hendak turun. Sudah bukan rahasia umum, ketika sepeda motor pengojek, misalnya, kesenggol bis, pasti yang akan salah adalah pengemudi, dan Anda tentu bisa menebak apa yang selanjutnya akan terjadi.

Terus terang, selama ini saya paling enggan naik ojek. Ketika malam hari pulang kerja, saya selalu memilih naik becak ketika harus masuk ke perumahan tempat tinggal saya. Kalau sudah larut dan becak sudah tidak ada, saya lebih memilih jalan kaki.

Tanpa bermaksud menghakimi, saya yakin bahwa kebijakan Pemprov DKI untuk membiarkan menjamurnya ojek tidak lepas dari lobi para produsen sepeda motor--yang ujung-ujungnya tentunya fulus bagi para pejabat. Lihat saja gencarnya tawaran kredit murah dari para agen atau distributor sepeda motor sekarang. Hanya dengan modal lima ratus ribu rupiah, Anda bisa menjadi tukang ojek dan membayar kredit harian. ***

Friday, May 06, 2005

Puskesmas di Jakarta

Sungguh berita yang sulit untuk dipercaya. 11 Kelurahan di Jakpus Belum Memiliki Puskesmas! Bahkan beritajakarta.com, yang notabene merupakan corong medianya Pemprov DKI Jakarta menyebut kenyataan ini sebagai ironi. Berikut kutipan lengkapnya. "Sungguh ironi memang. Jakarta Pusat sebagai jantung kota Jakarta yang memiliki gedung-gedung menjulang tinggi, megah dan gemerlap, namun pelayanan kesehatan masyarakat masih jauh dari harapan."

Ya, gedung-gedung bisa menjulang tinggi, mobil-mobil mewah bersileweran, proyek memperindah kota selalu digalakkan, tapi apa lacur, kebutuhan pokok warga atas kesehatan malah terabaikan. Coba saja tanya para warga kelurahan tersebut: apakah mereka lebih membutuhkan pohon rindang di jalanan atau trotoar jalan yang minimal sekali setahun dipermak daripada puskesmas? Pasti jawabannya adalah puskesmas! Tapi kenapa para birokrat itu membutakan mata dan nuraninya?

Lagi-lagi ini soal mentalitas proyek yang sudah mendarah daging. Proyek pertamanan bergelimang duit, sementara Puskesmas...? Ada sih, tapi tidak seberapa.

Lihat saja, hanya untuk memperindah air mancur di Bundaran HI, Pemprov DKI Jakarta harus menyedot APBD hingga belasan milyar. Jumlah yang lebih dari cukup untuk membangun 11 puskesmas!

Masalah belum adanya puskesmas di sebelas kelurahan tersebut memang suatu ironi, tapi ini hanyalah yang tampak di permukaan saja. Kita masih patut mempertanyakan sejauh mana kualitas pelayanan puskesmas yang sudah ada. Aturan main menyebutkan bahwa puskesmas harus memiliki setidaknya seorang dokter, yang harus ada setiap harinya. Kenyataannya? Banyak puskesmas hanya didatangi dokter sekali-kali saja, katakanlah tiga kali dalam seminggu. Mereka lebih sibuk dengan klinik atau tempat prakteknya sendiri. Mengapa? Lagi-lagi pertimbangannya adalah duit dan duit!! Tidak ada tempat hati nurani di sini, kawan! Hati nurani telah terjun bebas ke jurang komersialisme!!! **

Wednesday, May 04, 2005

Trik Re-Launch

Mengelola tempat dugem bisa dikata gampang-gampang susah. Ada tempat yang hanya dalam tempo enam bulan sudah break event point (BEP), tapi ada juga sampe bertahun-tahun masih terus nombok dan harus nutup diri. Ada pula yang memilih jalan "bagai kerakap di atas batu, mati segan hidup tak mau."


Memang menarik minat clubbers untuk datang ke suatu tempat bukan perkara mudah. Butuh trik tersendiri. Bahkan meng-hire pekerja profesional yang sudah handal pun bukan jaminan. Salah satu trik bisnis yang sedang in sekarang untuk menggaet kembali minat clubbers adalah dengan melakukan re-launch. Pihak pengelola melakukan renovasi di sana-sini, dan kemudian melakukan re-launch party. Trik inilah yang dilakukan Club Monaco, yang terletak di Hotel Grand Mahakam Jakarta, Jumat malam nanti (6/5). Apakah mereka akan berhasil? Kita lihat saja nanti.

Saya jadi teringat ketika Retro, yang terletak di Hotel Crown Plaza. Beberapa bulan berselang, mereka melakukan re-launch. Tamu yang datang memang membludak. Setelah itu? Situasi kembali "normal", kembali terasa sepi, seperti sebelum re-launch. Beberapa tempat di kawasan Kemang juga pernah melakukan trik yang satu ini. Tapi hasilnya ya, biasa-biasa saja.

Menurut hemat saya, persoalannya sebenarnya adalah bukan terutama pada renovasi, tapi lebih dalam lagi adalah atmosfir tempat tersebut secara keseluruhan. Seberapa mampu ia mengidentifikasikan diri dengan crowd yang ingin diraihnya.

Saya ada cerita tentang klub malam yang overestimated terhadap target pengunjungnya. Ketika bulan-bulan pertama buka, setiap tamu selalu dikenakan cover charge Rp 60.000 + first drink. Awalnya, saya berpikir crowd-nya pasti asyik nih dan nyasar A dan A+, dan acaranya pasti oke punya pula. Eh, ketika masuk ke dalam, saya kecele beret. Pengisi acaranya lebih cocok masuk ke kelas menengah bawah dan atmosfir-nya "kota banget".

Sebulan kemudian saya coba lagi datang ke sana ketika mereka ada special event. Eh, masih tetap begitu juga. Terakhir saya dengar, mereka sudah tidak mengenakan cover charge lagi. Konon, karena mereka mendapat kritikan pedas dari sebuah majalah bergengsi. Padahal, orang marketing PR-nya bukan orang baru di dunia malam. Karena tekanan dari pengelola? Wallahualam dah.... :D ***