Razia Tempat Esek-Esek
Untuk kedua kalinya, saya ingin menulis tentang razia tempat esek-esek yang lagi gencar dilakukan aparat keamanan di wilayah Jakarta Barat dan Pusat. Kalau pada tulisan sebelumnya, saya lebih menyoroti alasan dibalik razia tersebut, sekarang saya ingin melihat sisi lainnya.
Fakta menunjukkan bahwa jumlah pengangguran di negeri ini dari tahun ke tahun terus bertambah. Pertumbuhan ekonomi tidak pernah bisa menyerap angkatan kerja baru, apalagi menyerap penganggur tahun-tahun sebelumnya. Pada titik ekstrim, bisa dikatakan, pemerintah telah gagal menyejahterahkan rakyatnya.
Di sisi lain, sistem ekonomi yang berlaku sekarang lebih menekankan peran swasta dari pada pemerintah untuk menggelindingkan roda ekonomi. Pemerintah lebih banyak berfungsi sebagai regulator.
Pada titik ini, menjadi pertanyaan saya adalah: pantaskah pemerintah menutup tempat-tempat esek-esek tersebut? Mari kita berhitung sebentar. Bila di seluruh Jakarta terdapat seratus panti pijat plus-plus atau bordello, dan setiap panti pijat tersebut mempekerjakan sekitar seratus orang, berarti ada 10 ribu lowongan kerja. Ini belum dihitung mitra-mitra kerja mereka, seperti tempat laundry, tukang parkir, pemasok food & beverage dan sebagainya. Dalam kalkulasi sederhana bisa sebanding jumlah tenaga kerjanya. So, berarti dari seratus tempat tersebut bisa menyerap 20 ribu tenaga kerja.
Bayangkan, berapa dana yang harus dikeluarkan pemerintah DKI Jakarta untuk menyerap tenaga kerja 20 ribu orang? Sekadar perbandingan, proyek monorel Sutiyoso dengan investasi sekitar Rp 5 trilyun diperkirakan bisa menyerap 10 ribu tenaga kerja. Katakanlah proyek ini akan berjalan selama dua tahun, berarti ke-sepuluh ribu tenaga kerja tersebut akan aman selama itu. Setelah itu? Kembali menganggur, menunggu proyek lain. Karena mereka akan digantikan oleh tenaga kerja baru untuk operasional monorel, yg jumlahnya tentunya akan lebih sedikit.
Bandingkan dengan tempat pijat plus-plus yang "tidak ada matinya". Bahkan berdasarkan kesaksian dari para pemijatnya, mereka sendiri bisa membuka lowongan kerja baru. Misalnya, membelikan motor untuk dibuat menjadi ojek bagi saudaranya.
Fakta lainnya, para pemijat ini punya siklus hidupnya sendiri. Akan selalu ada pemijat baru dan pemijat lama akan menikmati jerih payahnya, bisa menjadi istri seseorang atau membuka usaha sendiri. Secara sederhana, kita bisa melihat bahwa tempat esek-esek tersebut memberikan sumbangan yang konstan bagi pertumbuhan ekonomi negara ini.
So, mengapa usaha mereka harus dirazia, dijadikan kambing hitam rusaknya moral bangsa? Bagi saya moralitas bangsa ini tidak diukur dari seberapa banyak tempat maksiat di negeri ini. Apakah bila semua tempat maksiat ditutup untuk selamanya, moralitas bangsa Indonesia akan langsung meroket menjadi yang tertinggi di seluruh dunia?
Fakta menunjukkan bahwa dalam hal korupsi, kita berada dalam peringkat keenam terendah dari 158 negara. Dan dengan sangat gamblang, korupsi ini telah sangat menghambat upaya pemberantasan kemiskinan. Kenapa? Karena dunia usaha mau nggak mau membebankan “ongkos kemahalan” tersebut kepada konsumen. Masyarakat terpaksa membayar produk lebih mahal. Bahkan tidak jarang melebihi kemampuan daya belinya. Di sisi lain, hal tersebut menjadikan Indonesia kurang menarik bagi para investor.
Lebih tidak bermoral siapa, para koruptor--dari mulai kelas eri sampai kelas kakap--atau para pengusaha bisnis esek-esek? Siapa yang lebih memberikan sumbangsih bagi pertumbuhan ekonomi?
Seperti halnya dalam perjudian, saya lebih setuju legalisasi prostitusi. Legalisasi akan lebih menguntungkan bagi negara daripada tetap diberi cap ilegal. Bisnis tumbuh secara pasti, pendapat pajak benar-benar masuk kas negara--bukannya seperti sekarang masuk ke kas oknum-oknum tertentu.
Sebagai catatan akhir, saya tidak akan menggiring persoalan ini dalam tataran agama. Agama dan negara adalah dua entitas yang berbeda. Walaupun di antara keduanya akan selalu terdapat titik singgung.***