"Malu Ama Mobil"
Ungkapan di atas saya dapat dari sopir taksi yang saya tumpangi kemarin malam, sejam sebelum kenaikan BBM berlaku efektif. Ceritanya, si sopir taksi meminta saya untuk turun di tol Bekasi Timur saja, karena ia takut nanti tidak sempat beli bensin. Maklum, antrian di SPBU lagi panjang-panjangnya dan yang membuat dia kesal banyak di antara mereka adalah pemilik mobil pribadi. "Masak beli mobil ratusan juta bisa, tapi hanya untuk nambah lima puluh ribu saja rela ngantri berjam-jam!?" umpat sang sopir taksi.
Saya hanya senyam-senyum saja. Mau bilang apa lagi? Wong memang banyak di antara kita yang suka bertindak tidak rasional. Saya jadi teringat dengan rasa heran beberapa teman yang mempertanyakan kenapa saya nggak beli-beli mobil hingga saat ini, padahal saya sudah punya usaha sendiri dan berkantor di segitiga emas.
Bukannya tidak mampu, tapi saya punya pertimbangan tersendiri. Bagi saya, selama taksi masih ada di jalanan saya lebih merasa nyaman memakainya. Saya bisa baca-baca buku atau yang lain di dalam taksi, daripada harus memendam rasa kesal menghadapi jalanan yang lebih sering macet daripada lancarnya. Memang terkadang sebel juga kalau ketemu orang atau calon klien yang pertama-tama menilai kita dari apa yang kita pakai. Tapi pengalaman saya, orang lebih banyak melihat apakah kinerja kita bagus apa tidak.
Tapi, itulah... Banyak di antara kita suka kebelet dengan "status" tapi kurang menyadari akibat dari status tersebut. ***