Riska Amelia. Itu nama yang disematkan ayah bunda kepadanya. Dihimpit kemiskinan ia dengan sukarela melakoni hidup menjadi penjaja koran di jalanan ketika menginjak usia kelas 2 SD. Maklum, ibunya hanya seorang penyapu jalan di Jalan Hayam Wuruk
Jakarta. Ayahnya ntah di mana berada. Riska telah melakoni pekerjaan selama tiga tahun. Kini ia telah menginjak usia 10 tahun dan duduk di kelas 5 SD Negeri 05 Kenari, Jakarta Pusat.
Dari jerih payahnya menjajakan Koran di tengah hiruk pikuk dan polusi jalanan, setiap hari ia bisa membawa pulang sekitar
lima puluh ribu ke rumah.
Tidak seperti anak penjaja koran pada umumnya, kehidupan jalanan tidak membuat Riska lalai atas tugas utamanya sebagai seorang siswa. Di sela-sela waktu tersisa, ia masih menyempatkan diri untuk belajar dan mengerjakan pekerjaan rumah yang dibebankan sekolahnya. Menurut pengakuan ibunya, Riska menduduki rangking tiga besar di sekolah!
Riska tidak pernah mengeluh atas nasib yang menderanya. Ia melakoni pekerjaan yang seharusnya belum waktunya dia kerjakan dengan sepenuh hati. Ia tetap memakai seragam sekolahnya ketika menjajakan koran. Karena, baginya, kalau harus berganti pakaian, malah kian memberatkan beban yang harus dia pikul di tasnya. Maklum, rumahnya jauh nun di Citayam, Depok, sementara ia berjualan di sepanjang Tugu Tani, Jakarta Pusat.
Riska tak menduga sebelumnya, pemikiran sederhananya ini akan berakibat fatal. Ia ditegur keras oleh kepala sekolahnya dan diminta untuk pindah sekolah. Gadis polos itu dianggap telah mencermarkan nama baik sekolah, telah membuat Sang Kepala Sekolah, Sri Mintaningsih, malu bukan kepalang. Bu Kepala Sekolah tidak bisa terima sama sekali ada anak didiknya yang ketahuan khalayak ramai menjadi penjaja koran jalanan. Ya, salah satu koran ibu kota telah memuat foto Riska sedang berjualan koran di Tugu Tani.
Dunia Riska runtuh seketika. Tidak ada lagi keceriaan di matanya. Riska kini menjadi pendiam. Ia tidak mau lagi pergi ke sekolah. Bahkan untuk keluar rumah pun tidak mau.
Sungguh saya tidak bisa menahan geram ketika membaca nasib sial yang menimpa gadis kecil penjaja koran ini. Sekolah yang seharusnya mendidik anak didiknya dengan baik dan benar malah melakukan tindak kekerasan psikologis! Lebih menyebalkan lagi, sang guru membela diri bahwa ia sama sekali tidak memarahi Riska. „Saya sampaikan itu (penegasan tata tertib sekolah, termasuk pemakaian seragam sekolah - pen.) baik-baik, tidak dengan marah-marah,“ ujarnya membela diri.
Akal sehat saya tentu saja langsung menyanggah pembelaan diri tersebut. Mana mungkin Riska akan langsung berubah seratus delapan puluh derajat kalau ibu gurunya nogmong baik-baik? Secara a priori saya lebih mengamini kesaksian ibu kandung Riska.
Memang, kalau kita tilik dari kacamata hukum, keputusan Rosnida, ibu Riska, untuk membiarkan (menyuruh?) dia berjualan koran bisa disebut sebagai kegiatan eksploitasi anak, mempekerjakan anak di bawah umur. Tapi, persoalan tidaklah sesederhana itu. Rizka dan rizka-rizka yang lain lebih membutuhkan empati daripada sikap pahlawan kesiangan. Tidak ada seorang anak pun yang terlahir ke dunia ingin menghabiskan masa kecilnya di jalanan, berteriak menjajakan koran,
berharap ada orang yang membeli dagangannya; menghirup polusi udara; rentan terhadap tindak kekerasan seksual!
Seharusnya, ketika foto Riska tertampang di koran, akan lebih arif-bijaksana bila pihak sekolah mencarikan Riska beasiswa pendidikan. Terlebih
Riska termasuk anak pintar, bisa menduduki rangking tiga, memiliki kemauan keras untuk bersekolah.
Tugas sekolah adalah memberi harapan hidup yang lebih baik buat anak didiknya, bukannya memadamkan asa mereka!***