Friday, April 29, 2005

Kepedulian Sosial

Ada berita menarik ketika saya membaca Jawa Pos hari ini di rubrik Jakarta Raya-nya. Di situ diungkap tentang amuk massa warga Jalan H. Mairin, Ulujami Jakarta Selatan terhadap salah seorang warganya. Pasalnya bukan karena warga tersebut ketahuan maling dan sejenisnya, tapi karena ia suka menyiksa anak sendiri. Untungnya, warga tidak sempat memukuli sang ayah karena keburu petugas kepolisian datang.

Yang menarik perhatian saya dari peristiwa di atas adalah potret kepedulian sosial warga Jalan H. Mairin tersebut. Jarang-jarang kita mendengar atau membaca berita di media massa hal seperti ini. Yang kita tahu adalah terjadinya berbagai kasus sosial di lingkungan tertentu tanpa lingkungan tersebut mengetahui sebelumnya.

Kepedulian sosial antar-warga memang sudah menjadi barang langka di kota-kota besar, termasuk Jakarta dan kota-kota satelitnya. Rutinitas kerja yang dipicu tuntutan hidup yang terus meningkat, membuat warga menjadi apatis terhadap lingkungan sekitarnya. "Yang penting gua nggak rugiin orang lain." Begitulah prinsip hidup yang dipegang sebagian dari antara kita.

Contoh sederhana dari pudarnya semangat kepedulian sosial ini bisa dilihat dari Siskamling yang masih berjalan di lingkungan perumahan. (Maklum perumahan rentan dengan yang namanya maling dan kawan-kawan). Kalau dulu Siskamling merupakan giliran antar-warga, kini telah digantikan oleh "hansip" bayaran. Tinggal kasih duit lima belas ribu rupiah sebulan, Anda tidak harus giliran jaga! Saya merasakannya di lingkungan sendiri.

Saya sebenarnya memimpikan, misalnya, adanya gotong royong bersih-bersih got sekali sebulan di lingkungan saya. Tapi sudah empat bulan menjadi warga, saya tidak pernah tuh dapat undangannya atau melihat ada aktivitas demikian.

Saya juga tidak, atau lebih tepatnya belum, melihat adanya aktivitas sosial yang sifatnya karitatif terhadap warga kurang mampu. Yang ada malah pungutan sukarela untuk pengajian warga setempat.

Mungkin mimpi saya terlalu berlebihan. Namun, setidaknya, berita di Jawa Pos hari ini, menyadarkan saya bahwa kepedulian sosial antarwarga itu masih ada di belantara Jakarta ini. **

Wednesday, April 27, 2005

Pemprop DKI Dukung Upaya Pemberantasan Korupsi?

Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, kembali menegaskan niat mulianya untuk memberantas korupsi di lingkungan Pemda DKI. Tapi, lagi-lagi saya membacanya sebagai pernyataan klise belaka. Seperti dikutip beritajakarta.com, Bung Yos berkata: "Intinya begini, upaya untuk memberantas korupsi mulai dari pengusutan awal, saya mendukung sepenuhnya sepanjang dilakukan sesuai prosedur yang ada." Klise, bukan?

Kita pasti sudah bosan mendengar pernyataan senada dari pejabat negara, yang selalu memberi embel-embel "sesuai prosedur yang ada", sementara mereka sendiri tahu pasti bahwa prosedur hukum di negeri ini masih melindungi para koruptor.

Saya jadi teringat berita yang dimuat harian Warta Kota terbitan hari ini seputar susahnya menertibkan pedagang kaki lima (PKL) di kawasan Glodok. Alasannya, tempat penampungan untuk PKL yang direncanakan masih bermasaah. Padahal, saya yakin, Sang Walikota Jakbar itu tahu pasti bahwa permasalahannya bukan pada tersedianya tempat penampungan atau tidak, tapi lebih kepada apakah Pemda setempat mau menegakkan aturan atau tidak.

Jelas-jelas sudah ada aturan yang menyebutkan bahwa dilarang berjualan di pinggir jalan dan sejenisnya. So, mengapa tidak mendasarkan diri pada aturan itu saja. Supaya kesannya membela wong cilik? Omong kosong!! Yang ada adalah "membela" isi perut sendiri. Sudah bukan rahasia lagi kalau para PKL tersebut menyetor "suap" yang relatif besar bagi aparat Pemda dan ini hanya bisa berlangsung bila Walikota juga menerima bagian, bukan?

Maaf, bukan bermaksud menuduh tanpa bukti. Seperti dikutip Warta Kota, Sang Walikota, yang kebetulan orang Batak, mengaku butuh waktu 3-4 bulan untuk penyelesaian masalah PKL ini karena mereka harus melakukan pendekatan dulu terhadap para pemimpin PKL tersebut. Asal tahu saja, berdasarkan pengamatan pribadi, di kawasan Glodok, para PKL-nya sebagian besar orang Batak dan konon Godfather-nya pun orang Batak. Mau bilang tidak ada unsur KKN?

Saya tidak yakin, Bung Yos mau melakukan penyelidikan internal tentang masalah PKL di Glodok ini dan bakal menyeret anak buahnya yang terlibat di dalamnya. Mengapa? Karena Bung Yos sendiri bukan orang yang bersih dari unsur KKN. Dan saya yakin akan hal itu, walaupun tidak bisa memberi bukti-bukti nyata. **

Tuesday, April 26, 2005

Lelaki Jakarta

Kemarin, akhirnya tuntas juga saya membaca novel Shanghai Baby atawa Gadis Shanghai. Kualitas terjemahannya cukup bagus, terlepas apakah itu versi bajakan atau tidak. Apa yang membuat saya tertarik untuk ngomong tentang novel yang satu ini? Saya menjadi tertarik untuk nulis novel. Eitt... jangan tertawa dulu. Ini serius loh... hehehee.... :P

Membaca novel Gadis Shanghai telah menimbulkan minat saya untuk berkisah tentang gemerlap Jakarta dengan berbagai problematika kehidupannya. Kalau Gadis Shanghai dari sudut pandang perempuan, bakal novel saya ini akan mengambil sudut pandang lelaki. Judul tentatifnya: Lelaki Jakarta.

Selama membaca novel karangan Wei Hui ini, benak saya selalu membayangkan bagaimana kelak saya membungkus dinamika kehidupan metropolis Jakarta. Bahkan ketika menulis catatan ini, benak saya masih terus berputar-putar.

Sejauh pengamatan saya, sampai kini belum ada novel yang menguak lika-liku kompleksitas kehidupan di Jakarta dari sudut pandang lelaki. Yang ada barulah serpihan-serpihannya dalam bentuk cerpen. Atau karya dalam bentuk jurnalisme sastra ala Emka, misalnya.

Saya sadar sedari awal, ini bukan pekerjaan mudah. Mungkin butuh waktu bertahun untuk menyelesaikannya. Butuh riset yang dalam tentang berbagai fakta. Jujur saja, saya kerap merasa sedih dengan novel-novel karya pengarang pemula kita sekarang, yang seringkali dangkal dalam bercerita. Lebih senang bermain kata daripada merangkai fakta menjadi rantai cerita yang memikat. Bukan, begitu? **

Sunday, April 24, 2005

Konfrensi Asia Afrika 2005

Hingga hari Ahad lalu, Jakarta benar-benar dalam penjagaan ketat aparat keamanan. Bukan karena adanya ancaman bom dan sejenisnya, tapi karena ibu kota tercinta ini menjadi tempat perhelatan Konfrensi Asia Afrika (KAA) II. Penjagaan aparat keamanan sangat terlihat mencolok. Lihat saja, bahkan hingga jembatan penyeberangan di sepanjang segitiga emas (Sudirman-Thamrin-Gatot Subroto) dijaga tentera bersenjata lengkap. Pemerintah pun sengaja show of force seputar kesiapan mereka mengantisipasi setiap kemungkinan terburuk yang bisa terjadi.

Ketatnya penjagaan keamanan yang dilakukan pemerintah, di sisi lain, sebenarnya, menunjukkan betap masih rapuhnya keamanan ibu kota. Ancaman terorisme masih terus menghantui. Walaupun Pemda DKI Jakarta tidak sampai menyatakan situasi Siaga, tetap saja penjagaan mencolok tersebut menjadi indikator penting.

Untunglah, KAA II berlangsung tanpa adanya gangguan keamanan. Setidaknya, itu lah yang saya baca di media massa. Jakarta bisa menegakkan diri kembali di mata dunia internasional. Apakah situasi kondusif ini akan terus berlangsung? "Waktu kan menjawab," begitu kata tembang yang dilantunkan grup Warna. **