Thursday, November 23, 2006

Nasib Pencari Kerja

Tadi pagi saya mengantarkan adik ipar ke daerah Senen untuk memasukkan lamaran kerja ala walk in interview. Maklum adik ipar saya ini buta sama sekali dengan Jakarta. Tahunya Bandung saja. Kebetulan di gedung tempat perusahaan tersebut, ada saudara saya yang bekerja, tapi beda perusahaan. Jadilah sembari menunggu wawancara sang adik ipar, saya ngobrol-ngobrol dengan saudara saya tersebut.

Sekitar setengah jam kemudian, adik ipar saya keluar. Dalam perjalanan pulang, dia pun bercerita. Ceritanya, perusahaan tersebut bergerak di bidang distribusi kosmetik. Bagi para pelamar kerja yang berminat untuk bergabung mereka harus mengikuti pelatihan terlebih dahulu. Dan dari pelatihan nanti perusahaan akan memutuskan apakah pelamar bersangkutan akan diterima kerja atau tidak. Dalam benak saya: keren juga nih perusahaan.

Kekaguman saya langsung berbalik menjadi curiga ketika adik ipar saya menjelaskan lebih jauh bahwa untuk ikut pelatihan tersebut para peserta dipungut bayaran sebesar Rp 120.000. Konon, ini nantinya untuk biaya pembicara dan konsumsi selama pelatihan.

Insting gua mengatakan ini adalah modus baru mencari uang dengan cara mudah. Bayangkan saja, bila tiap hari jumlah pelamar yang datang sekitar 50 orang, dalam dua minggu mereka bisa mengeruk duit sebesar Rp 60.000.000. (Saya telah membaca iklan lowongan mereka dua kali di koran Lowongan Kerja yang terbit mingguan).

Saya tidak mengatakan bahwa mereka perusahaan gadungan. Tidak sama sekali. Mereka memang benar perusahaan yang bergerak di keagenan kosmetik. Tapi yang saya sesalkan adalah cara mereka mengeruk duit dari para pelamar kerja. Mereka tahu bahwa di ibukota Jakarta ini sulit dapat pekerjaan sementara para pencari kerja berjibun. Nestapa orang malah menjadi rejeki bagi mereka! Sungguh ironis, bukan!?***

Wednesday, November 22, 2006

Operasi Yustisi

Dari tanggal 16-20 November lalu, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta sedang giat-giatnya melakukan Operasi Yustisi Kependudukan. Dari operasi tersebut terjaring 1.172 orang. Dari jumlah tersebut 475 orang di antaranya diajukan ke sidang pengadilan dan dikenai sanksi pidana ringan. Sanksi denda dari pengadilan menghasilkan pendapatan terhadap kas negara sebesar Rp 10.151.000. Sisanya 697 orang dipulangkan ke kampungnya masing-masing dan biayanya ditanggung oleh pemerintah.

Ada beberapa fakta menarik dari data tersebut di atas. Pertama hasil Operasi Yustisi tersebut sangat kecil dibandingkan jumlah pendatang yang coba mengadu nasib ke ibukota pascalebaran. Diperkirakan setiap tahunnya, ada 200 ribu orang pendatang ke Jakarta.

Kedua, total pendapatan dari hasil operasi tersebut tidak sebanding dengan biaya pengiriman pulang mereka ke kampung halamannya. Asumsikan saja ongkos naik bis sekarang Rp 10-30 ribu naik bis ekonomi. Kalau kita pukul rata menjadi Rp 20.000 per orang, berarti pemerintah harus menyediakan dana sebesar Rp 13.940.000. Ada selisih rugi sebesar Rp 3.789.000.

Itu kalau kita bermain-main dengan angka. Tapi persoalan sesungguhnya lebih jauh dari itu. Pertama, urbanisasi telah mengakibatkan tetap tingginya angka kriminalitas di Jakarta. Kenapa, karena sebagian besar para pendatang tersebut tidak dibekali bekal ilmu dan keahlian yang mumpuni. Pada akhirnya ketika tidak mendapatkan pekerjaan di sektor formal maupun informal, mereka nekat menjadi pencoleng, perampok, penjambret dan sejenisnya demi bertahan hidup. Pulang ke kampung? Ogah! Karena malu atau merasa toh di kampung juga tidak bakal punya pekerjaan tetap, malah bisa nyusahin orang tua.

Pada titik ini sebenarnya pemerintah pusat harus membantu Pemprov DKI Jakarta untuk melapangkan jalan terbentuknya Megapolitan di mana di dalamnya terdapat Jakarta dan daerah-daerah sekitarnya. Ini harus dituangkan dalam bentuk undang-undang, tidak cukup hanya dalam bentuk Keputusan Presiden, misalnya.

Di sisi lain, pemerintah pusat juga harus lebih memaksimalisasi manfaat diberlakukannya otonomi daerah. Keberhasilan daerah dalam menggali potensi ekonominya masing-masing otomatis akan mengurangi jumlah urbanisasi ke ibu kota. Beberapa daerah telah menunjukkan keberhasilannya melaksanakan otonomi seperti Kabupaten Kutai-Kertanegara di Kalimatan dan Kabupaten Grianyar di Bali. Seharusnya ini bisa menjadi contoh bagi daerah-daerah lain.

Kalau hal ini bisa dilakukan, Pemda DKI tidak harus melakukan Operasi Yustisi tiap tahun, yang secara ekonomis malah merugikan dan tidak akan pernah pula bisa mengurangi angka urbanisasi. Yang harus dibenahi terlebih dahulu adalah akar persoalannya bukan eksesnya. ***

Monday, November 20, 2006

Selamat Datang Bang Bush!

Akhirnya, tiba juga perhelatan yang ditunggu-tunggu itu. George Bush, penguasa negeri adikuasa, itu menginjakkan kakinya di bumi Indonesia, persisnya di Istana Bogor. Jauh sebelum kedatanganna, negeri ini telah dibuat heboh: heboh karena persiapan pengamanannya yang dinilai keterlaluan—enam pekan persiapan untuk waktu kunjungan yang hanya enam jam; heboh karena banyaknya unjuk rasa yang menentang dan mendukung kedatangan Bush.

Kenapa sih kedatangan Bush begitu menyita perhatian banyak orang? Jawabannya cukup sederhana: Bush telanjur dicap sebagai musuh negara-negara Islam karena kebijakan luar negerinya yang menginvasi Afganisthan dan Irak serta dukungan berlebihannya kepada Israel dalam konflik Palestina. Bagi negara-negara atau pun umat Islam, Bush lah teroris nomor 1 dunia, bukan Osama Bin Laden!

Apakah bisa dibenarkan bila Bush dicap sebagai Teroris No. 1 Dunia? Saya pikir pelabelan nomor satu ini masih butuh penelitian lebih jauh. Tapi kalau mencap Bush sebagai Teroris, saya pasti setuju. Kenapa? Karena melalui kebijakannya, Bush jelas-jelas telah menebar teror di Irak dan Afganistan, misalnya.

Tapi apakah dengan cap teroris tersebut, Bush tidak pantas datang ke Indonesia? Saya pikir, tidak pada tempatnya kita melarang dia datang ke sini. Wong kita saja tidak pernah kog mengusir teroris yang berasal dari negeri sendiri!

Sejujurnya, saya sedikit kesal juga dengan para penentang kedatangan Presiden Paman Sam ini. Kalau memang kita sepakat Bush adalah teroris, kenapa perlakuan yang sama tidak mereka lakukan terhadap para teroris yang telah membom negeri ini sampai berkali-kali? Bahkan mereka-mereka, para massa, tidak pernah sekali pun saya lihat berunjuk rasa menuntut pengadilan seberat-beratnya terhadap Amrozi dkk.

Mereka selama ini mengatakan Amerika selalu melakukan standar ganda, tapi apakah mereka pernah bercermin diri, melihat bahwa mereka juga sebenarnya sadar tidak sadar telah merapkan standar ganda juga? Kalo Bush ditentang habis, kalau dari kalangan sendiri, walaupun tidak setuju, ya diam-diam saja.

Terus terang saya mendukung kedatangan Bang Bush ke sini. Mari kita lihat sisi positifnya. Pertama, kedatangan Bush menunjukkan bahwa bagi AS, Indonesia tetap memegang peran penting dalam percaturan politik dunia, terlebih dalam posisi Indonesia sebagai negara dengan penganut Islama terbesar di dunia. Kedua, kedatangan Bush seharusnya bisa digunakan untuk mendesak pemerintah AS agar lebih bertindak adil dalam melihat persoalan terorisme internasional.

Ketiga, agar pemerintahan Bush dapat mendengar sendiri dari pemerintah Indonesia dan tokoh-tokoh masyarakat tentang berbagai isu sosial-ekonomi-politik yang penting dalam hubungan kedua negara.

Memang Partai Republik yang mengusung Bush ke Gedung Putih telah kalah di parlemen dalam pemilihan sela beberapa waktu lalu, tapi itu bukan berarti rejim Bush langsung kehilangan tajinya.

Bagi saya adalah mubazir menentang kedatangan Bush, lebih produktif kalau para tokoh-tokoh politik negeri ini menjadikan peristiwa ini untuk mendesakkan kepentingan negeri ini kepadanya. Selamat datang, Bang Bush!

By thet way, coba deh iseng-iseng berselancar di internet dan ketik kata kunci ”bangbus”. Apa yang bakal Anda dapatkan? Sekarang carilah persamaan dan perbedaan ”bangbus” dengan Bang Bush. Selamat berpikir! :D ***