Razia Tempat Dugem
Satu bulan terakhir, polisi rajin "menyambangi" tempat-tempat dugem yang disinyalir menjadi tempat pengguna narkoba, khususnya ekstasi dan shabu-shabu. Mereka selalu ditemani wartawan yang selalu siap dengan kamera membidik para (calon) tersangka.
Tak berlebihan bila sehari setelah razia, media massa kita, baik cetak dan elektronik dihiasi berita seputar "Operasi Simpatik" tersebut. Berita semakin heboh ketika di salah satu tempat dugem, dua orang selebritas kita sempat menjadi tersangka.
Ada beberapa catatan saya seputar razia ini. Pertama, sikap wartawan yang terlalu menggeneralisir semua tempat dugem sebagai diskotik. Dari semua media cetak yang saya baca, tidak satu pun yang berusaha mengkategorisasi tempat-tempat dugem tersebut, sehingga tidak menyesatkan pembaca.
Sebenarnya tidak terlalu susah untuk membedakan mana yang diskotik, mana yang bar & lounge. Diskotik biasanya menyamarkan diri dengan sebutan "executive club". Sebutan ini kerap dijumpai di kawasan Kota, seperti Golden Crown, Millenium dan Stadium. Sementara kawasan Jakarta Selatan, tempat-tempat dugemnya cenderung dalam rupa bar & lounge.
Ini bukan sekadar beda nama, tapi atmosfir dan musik yang diusung pun beda. Di kalangan dugemers ada istilah "Musik Kota" dan "Musik Selatan". Kota cenderung ke house musik dengan beat yang sangat cepat, sementara Selatan cenderung ke hip hop, rnb dan kawan-kawan denga beat sedang.
Memang ada juga Musik Kota yang coba dibawa ke Selatan, seperti dilakukan Palladium, yang terletak di Hotel Kristal. Atau Musik Selatan masuk Kota, seperti di Club 36 di Pangeran Jayakarta. Dikaitkan dengan peredaran narkoba, kemungkinan pecinta Musik Selatan mengkonsumsi ekstasi sangat kecil. Sebaliknya, pecinta Musik Kota, lebih potensial memakai ekstasi.
Kedua, jumlah tersangka pengguna narkoba yang terjaring selama sebulan razia sangat-sangat kecil. Berdasarkan data yang dimuat majalah Tempo terbitan minggu ini, dari razia di Kawasan Kota, polisi hanya menangkap puluhan orang. Padahal, secara kasat mata saja, saya percaya, bahwa ratusan orang bisa terjaring positif memakai ekstasi. Saya beberapa kali menyambangi tempat-tempat tersebut dan bisa dengan mudah mengidentifikasi siapa yang memakai siap yang tidak. Dan saya bisa mengatakan sekitar minimal 30% yg datang ke diskotik-diskotik Kawasan Kota pasti memakai ekstasi. Ini perhitungan sangat konservatif!
Saya jadi bertanya-tanya, jangan-jangan ini hanya untuk konsumsi media massa!? Dan dengan "bodohnnya" media massa masuk dalam "hidden agenda" polisi!! Saya juga jadi curiga, salah kaprah penyebutan "diskotik" untuk semua tempat-tempat dugem tersebut merupakan buah sikap wartawan yang menerima begitu saja penyebutan yang disorongkan pihak kepolisian.
Saya juga curiga aksi polisi menangkap Ellyas Pical dan Ria Irawan hanya merupakan agenda untuk menggelembungkan isu betapa seriusnya polisi memberantas penyeberan ekstasi. Lihat saja, ketika razia tidak mengenai publik figure, liputan media biasa-biasa saja.
Sayangnya, media massa kita, sekali lagi, telah masuk dalam jebakan agenda tersembunyi pihak kepolisian. Seharusnya, agenda pemberantasan narkoba ini bisa menjadi pintu masuk untuk laporan investigasi mengenai seluk beluk jaringan narkoba di tanah dan peran serta oknum-oknum polisi di sana. Yang terjadi malah berita yang "so-so" saja. Saya, misalnya, kecewa dengan berita majalah Tempo minggu ini, yang dengan gagahnya membuat judul seputar aktris dan bisnis narkotika di diskotik di halaman mukanya. Tapi ketika saya baca, isinya hanya rekap dari peristiwa-peristiwa sebelumnya, tidak ada yang baru sama sekali. Tempo, gitu loh!!
Dalam berbagai kesempatan pihak kepolisian menyebut operasi ke sarang pengguna narkoba ini merupakan salah satu prioritas utama mereka untuk menghambat penyebaran ekstasi dkk. Apakah mereka telah melangkah di jalan yg benar? Saya pikir, tidak! Ekstasi tetap saja beredar di Kawasan Kota. Coba saja datang ke Stadium dan tanya waiter-nya. Mereka akan langsung mendatangkan bede ke meja Anda!
Setahu saya, sekarang asosiasi pengusaha hiburan malam sedang merapatkan barisan, menunjukkan bahwa mereka memang anti narkoba dengan membuat logo "say no to drug". Karena terang saja, tempat-tempat dugem, yang memang bukan sarangnya peredaran narkoba itu, merasa dirugikan dengan razia-razia polisi yang tidak pada tempatnya.
Patut dicatat, banyak orang akhirnya ogah untuk clubbing lagi, bukan karena takut ketangkap polisi ketika razia. Tapi mereka ogah tampang mereka masuk media massa atau kenikmatan hang out terganggu karena "ulah tak bertanggung jawab" polisi dan fotografer serta kamerawan yang begitu getolnya menyoroti orang-orang yang ada di tempat dugem tersebut.***