Friday, September 02, 2005

Kebakaran Pasar Blok M

Kebakaran Pasar Blok M membawa cerita tersendiri. Kabarnya di bekas lokasi kebakaran tersebut, PD Pasar Jaya akan membangun pusat perbelanjaan modern, lengkap dengan hotel dan apartemen. Pernyataan pihak Pasar Jaya, yang dikutip oleh berbagai media itu, esoknya dibantah pihak Pemda. Katanya, Pemda belum memutuskan langkah apa yang bakal diambil pasca-kebakaran. Di pihak lain, mereka mengakui bahwa Pemda telah menerima ajuan IMB baru dari Pasar Jaya mengenai pengembangan Pasar Blok M tersebut, jauh sebelum kebakaran.

Sound familiar, huh!! Dalam banyak kasus, kita selalu mendengar ada udang di balik batu. Biar pun kemudian dibantah, tapi menjadi kenyataan jua.

Alasan Pasar Jaya untuk menjadikan Pasar Blok M menjadi pusat perbelanjaan modern lengkap dengan segala sarana pendukungnya tentunya bisa diterima akal. Daerah Blok M merupakan salah satu kawasan bisnis paling strategis di Jakarta. Yang menjadi pertanyaan kita sekarang adalah mengapa Pasar Jay--ada kesan--sampai harus melakukan tindakan tak terpuji untuk memenuhi ambisi bisnisnya? Bukankah sebenarnya mereka bisa memberikan alasan rasional dan kompensasi yang masuk akal untuk membangun kembali kawasan tersebut? ***

Tuesday, August 30, 2005

Catatan Ringan dari I Like Monday

Sejak digulirkan kembali beberapa bulan lalu, saya sebenarnya sudah ingin benar untuk datang ke Hard Rock Cafe Jakarta. Saya ingin tahu bagaimana atmosfir acara I Like Monday ini setelah HRC pindah ke EX Plaza Indonesia. Tapi, selalu saja waktunya tidak pernah klop dengan aktivitas saya yang lain. Barulah tadi malam, saya sempat datang ketika mereka menggelar konser Vina Panduwinata.

Menginjakkan kaki di "new" HRC Jakarta, saya langsung merasakan sesuatu yang beda. Ini bukan HRC, pikir saya. Interiornya tidak lebih dari sekadar restaurant fast food yang sudah tersebar di banyak tempat. Bedanya, yang ini mengusung nama besar dengan memorabilia besar pula. Itu saja. Saat itu juga, saya merindukan HRC Jakarta ketika masih di Sarinah. Ruang lebih kecil tapi terasa "guyup."

Saya menyadari dari awal, kian "gemuk"-nya HRC Jakarta tidak terlepas dari pertimbangan bisnis sederhana. Ketika "brand" sudah kuat dan pengunjung selalu ramai, kenapa tidak membuka tempat baru yang lebih besar? Di sinilah pertanyaan kritisnya. Pertanyaan yang dalam beberapa kasus tidak membawa berkah seperti yang diharapkan. Saya baru tadi malam "bercumbu" dengan HRC yang baru, dan di malam pertama, saya sudah langsung tidak merasakan kenikmatan lebih. Biasanya feeling saya lumayan jitu. Feeling saya langsung mengatakan, HRC Jakarta melakukan "kesalahan" ketika memutuskan pindah tempat.

Cukup sudah saya berbicara tentang HRC. Ada kenikmatan lain yang ingin saya reguk malam itu, yaitu merasakan suara emas si Burung Camar Vina Panduwinata. Setelah lebih dari sejam menunggu, "Mama Ina"--begitu artis-artis belia menyapanya di atas panggung, pun unjuk kebolehan dengan lagu andalan yang sekaligus menjadi sebutan dirinya itu. Nenek yang satu ini memang "nggak ada matinya". Di usianya yang sudah menginjak 46 tahun, Vina masih tetap energik dan centil, tentunya. Menurut teman saya, baru kali ini I Like Monday pake acara improvisasi segala. Dalam rilis yang dikirim ke media, sudah disebut bakal ada tiga vokalis yang akan berkolaborasi dengan Vina, yaitu Baim, Winda dan Delon. Tapi malam itu, Vina tiba-tiba meminta teman duet-nya Harvey Malaiholo untuk nyanyi bareng dengannya.
Saya seorang pengagum "Mama Ina". Karena itulah, teman saya harus rela "melepaskan" saya ke tengah panggung sendirian. Dia lebih suka berada di belakang, dekat loker. Tapi, sial benar, kenikmatan saya menikmati suara emas Vina, langsung drop ketika dari arah bar di belakang saya muncul seorang penyanyi dengan suara sumbang dan tanpa penghayatan lagu yang memadai. Dan penyanyi itu ternyata adalah Delon, "runner-up" Indonesia Idol tahun lalu. Alamak!! Saya tidak menyangka bahwa separah itu ternyata penyanyi idola hasil SMS dari seluruh penjuru Nusantara.

Saya sempat menangkap kesan, Vina sepertinya kurang sreg dengan kolaborasinya dengan Delon. Saya pribadi, setelah melihat penampilannya, langsung "ngedrop", menjauh ke belakang. Kog bisa-bisanya sih, mereka dipasangkan? Vina sendiri sempat "nyelutuk" ketika akan meninggalkan Delon untuk bernyanyi sendirian untuk kedua kalinya. "Saya tinggal dulu, ya. Ini untuk Deloners!" Kurang lebih begitulah kata-kata yang terucap ketika Vina mengambil waktu istirahat.

Apa yang saya ingin utarakan dengan kejadian di atas? Oom Gramsci, yang terkenal dengan konsep hegemoni, berulang kali mengingatkan bahaya regemintasi negara. Di depan saya malam itu, saya merasakan kehadiran "regimentasi dunia hiburan"! Ketika saya datang ke HRC tadi malam, saya disodorkan saluran O Channel; sponsor media adalah Cosmopolitan, Trax dan FHM; terpaksa menikmati kolaborasi Vina dan Delon (yg notabene dibawah naungan IP Entertainment). Begitu gamblang di depan mata saya sekarang bahwa semua yang saya nikmati berada di naungan MRA Group! Hmm.. pantesan!!

Maaf saja, saya jadi curiga bahwa kehadiran Delon terasa dipaksakan. Ada tiga fakta di lapangan yang bisa saya berikan sebagai indikatornya. Pertama, "penampakan" Delon dari meja bar--yang menunjukkan seakan-akan ia setaraf dengan Vina, yang muncul pertama kali dari dekat pintu masuk. (Dua artis lain, Winda dan Baim, langsung muncul di panggung). Kedua, celetukan Vina seperti yang saya sebut di atas. Terakhir, beberapa kali terlihat Vina harus memberi kode tertentu kepada Delon ketika mereka berkolaborasi karena terlihat Delon kurang bisa menyatu dengan lagu yang sedang mereka bawakan.

Karena itulah, saya tidak yakin Vina mau berkolaborasi dengan Delon kalau tidak ada campur tangan pihak ketiga. Tapi, Vina harus menelan pil pahit itu ketika sebuah rejim yang memberi nafkah kepadanya, memaksakan salah seorang artisnya untuk tampil bersama. Saya yakin, apa yang saya alami tadi malam, bukanlah yang pertama dan terakhir. Rejimentasi dunia hiburan sedang menghantui hidup kita. Waspadalah... waspadalah.... !!

Monday, August 29, 2005

Kota Tua Jakarta

Sabtu dan Minggu lalu, Pemerintah Kota (Pemkot) Jakarta Barat menyelenggarakan Festival Kesenian Kota Tua dan Pecinan di kawasan tersebut. Ada beberapa kegiatan yang dilaksanakan, di antaranya ”Plesiran Tempo Doeloe Bank Djadoel di Batavia” dan pawai yang melibatkan belasan kelompok dari berbagai penggiat kesenian seperti barongsai, tanjidor, kuda lumping dan ondel-ondel serta marching band. Mereka mengambil rute Jalan Pos Kota hingga Jalan Hayam Wuruk, kemudian berbalik arah.

Niat baik Pemkot mengadakan festival ini, tentunya, patut disambut dengan baik. Kawasan Kota Tua memang bisa dijadikan aset berharga untuk memajukan wisata Jakarta. Bahkan sangat-sangat layak dimasukkan dalam agenda perjalanan wisatawan lokal maupun asing.

Mengadakan festival merupakan salah satu kiat untuk mencapai keinginan tersebut. Tapi, sebelum festival itu sendiri menjadi sesuatu yang punya nilai jual, Pemkot sudah seharusnya membuat Kota Tua itu sendiri menjadi tempat wisata yang "layak jual". Potensi sudah ada, tinggal sekarang bagaimana merestorasi kawasan tersebut dan menjadikannya lebih hidup.

Saya beberapa kali melintasi kawasan ini di siang dan malam hari. Siang hari, terasa sekali Kota Tua ini mati suri, sementara malam hari benar-benar seperti "kota mati". Kontras dengan kawasan di kiri kanan yang tetap berdenyut kencang di malam hari. Kebanyakan bangunannya tampak terbengkalai tak berpenghuni. Muram, tak bernyawa.

Beberapa kali pula saya membayangkan: apabila saya punya duit banyak, saya akan merestorasi kawasan ini dan menjadikan sebagai kawasan bisnis wisata yang sangat menguntungkan baik secara finansial maupun budaya. Saya sudah membayangkan, Kota Tua ini akan kembali gemerlap di malam hari, lengkap dengan segala aktivitas metropolisnya. Begitu pula di siang hari, para pelaku bisnis akan merasa bangga berkantor di sini karena mereka mendapatkan sesuatu yang berbeda, pengalaman mental yang tak akan mereka temukan di tempat lain di Jakarta. ***