Kemarin, puluhan sopir taksi Simpati demo di depan Graha SCTV, yang letaknya selisih satu gedung dengan kantor saya. Awalnya, saya tak tahu pasti alasan mereka berdemo ria di siang hari itu, baru ketika membaca Warta Kota hari ini saya sedikit tahu duduk perkaranya. Kabarnya, SCTV menayangkan berita seputar perampokan oleh sopir taksi dan dua orang kawannya terhadap penumpangnya, yang kebetulan perempuan. Perampokan tersebut, oleh korban, disebut dilakukan sopir taksi Simpati. Penyebutan nama inilah yang menyulut rasa tidak puas para awak taksi Simpati. Karena, menurut mereka, penyebutan nama tersebut telah membuat pendapatan mereka anjlok.
Saya sendiri sekitar dua minggu yang lalu telah menerima email dari beberapa milis seputar aksi kejahatan di taksi Simpati dan sempat ngobrol-ngobrol dengan seorang sopir taksi Blue Bird mengenai kasus ini.
Dari hasil obrolan tersebut, saya bisa memahami mengapa kejadian di atas bisa terjadi. Pertama-tama adalah taksi bersangkutan tidak menerapkan peraturan yang melarang sopir taksi untuk aplusan dengan temannya. Boleh jadi, benar apa yang diklaim para pendemo taksi Simpati, bahwa ketika dicek, tidak ada satu pun awak taksinya yang merasa terlibat dalam aksi kejahatan tersebut. Tapi, apakah mereka tahu kalau teman yang menggantikan mereka melakukannya? Karena setahu saya, di taksi Simpati, yang sistemnya setoran, boleh-boleh saja si sopir taksi terdaftar digantikan temannya yang tidaka terdaftar. Bukan hal yang aneh lagi kalau gambar pengemudi yang ada di tanda pengenal, beda dengan sang pengemudinya.
Kedua, sistem setoran itu sendiri bisa menjadi faktor penyebab. Ambil kata setiap taksi harus menyetor 210.ooo per hari. Ketatnya persaingan antar armada taksi sekarang, bisa mengakibatkan setoran tersebut tidak terpenuhi atau kalau pun terpenuhi sang sopir tidak punya uang lagi yang bisa dibawa pulang ke rumah. Kalau ini sering terjadi, bisa jadi pada akhirnya si sopir nekad untuk merampok penumpangnya sendiri bukan?
Namun, terlepas dari masalah di atas, masalah pertaksian di Jakarta memang selalu mengundang kontroversi, seperti moda transportasi lainnya. Contoh kasus, para pengelola selalu mengeluh bahwa tarif yang berlaku sekarang tidak cukup untuk menjalankan roda bisnis mereka, tapi anehnya, armada taksi baru selalu bermunculan. Apa mungkin, kalau tidak menguntungkan, mereka mau terjun ke bisnis bernilai milyaran ini?
Yang terjadi sebenarnya adalah, pemerintah dan pengelola taksi tarik ulur kebijakan sementara nasib sopir taksinya kurang diperhatikan. Mau bukti? Lihat saja kebijakan baru yang dilakukan Blue Bird Group. Setelah menaikkan tarif sesuai batas atas yang dikeluarkan Pemda DKI Jakarta, mereka juga mengambil kebijakan yang kurang menguntungkan sopir taksi: subsidi BBM dihapuskan sementara setoran harian dinaikkan. Bukankah ini namanya mencekik leher sopir taksi?
Kalau mau jujur, bukankah ekspansi bisnis Blue Bird Group di luar pertaksian dimodali oleh keuntungan dari taksi-taksi mengelilingi Jakarta setiap harinya? **