Thursday, July 21, 2005

Pajak Progresif

Akhirnya... Pemprov DKI Jakarta akan kembali memberlakukan pajak progresif untuk kendaraan bermotor roda dua dan empat. Kebijakan ini sedikit banyak tentunya akan mengurangi jumlah kendaraan di jalan raya dengan segala efek lanjutannya.

Pertama, kebijakan ini akan mengurangi polusi udara yang disebabkan emisi gas buang kendaraan bermotor. Kedua, penghematan BBM yang dicanangkan pemerintah akan semakin efektif. Ketiga, orang akan lebih memilih kendaraan umum untuk bepergian ke kantor, misalnya. Apalagi kalau proyek monorel sudah bisa operasional nantinya. Yang keempat, akan mengurangi macet, yang telah menjadi momok ibukota selama ini.

Namun di sisi lain, pemberlakuan pajak progresif sedikit banyak akan memukul industri otomotif di tanah air. Walaupun demikian, bukan berarti ini otomatis menghambat investasi. Mengapa saya sebut demikian? Karena kebijakan tersebut, sebenarnya, tidak otomatis juga menghambat laju pertumbuhan penjualan mereka. Ini bisa terjadi kalau pemberlakukan pajak progresif tersebut tidak hanya dikenakan terhadap pembelian kendaraan mewah atau kendaraan kedua, ketiga dan seterusnya. Tapi juga berlaku untuk usia kendaraan. Katakanlah, bila usia kendaraan telah tujuh tahun, pajak yang harus ditanggung pemilik mobil akan setara dengan mobil baru. Dalam kondisi demikian, tentu sang pemiliki kendaraan akan lebih memilih mobil baru, dan menjualnya ke daerah yang belum mengodopsi pajak progresif.

Sekali lagi, saya menyambut baik kebijakan ini sebagai bagian penanganan masalah secara komprehensif moda transportasi di ibukota negara tercinta ini.**

Monday, July 18, 2005

Monumen Nasional

Seumur-umur, baru hari Sabtu lalu saya menginjakkan kaki di puncak Monumen Nasional (Monas) yang telah melegenda itu. Padahal saya sudah malang-melintang di belantara Jakarta ini lebih dari tujuh tahun. Memang pernah saya dan pacar (istri saya sekarang) ke Monas pas malam Tahun Baru, tapi sekadar keliling-keliling naik andong dan merasakan keramaiannya.

Kedatangan saya kedua kalinya Sabtu lalu bersama adik ipar saya. Maklum, ia baru kali ini menginjak Jakarta dan saya, akhirnya, menjadi guide-nya. Kebetulan istri saya tidak bisa karena sedang bekerja. Jadilah Monas menjadi salah satu tujuan. Sampai di sana sekitar setengah tiga sore.

Saya baru tahu, untuk masuk ke pelataran Monas, ternyata harus lewat lorong bawah tanah, yang pintu masuknya di samping patung Diponegoro. Sampai di loket, saya melihat ada dua harga tiket, mau cuma liat-liat di pelatarannya ato mau sampai ke puncak. Kami akhirnya sepakat untuk ambil sampai puncak, yang harganya lima kali lipat alias lima ribu rupiah. Petugas tiket sudah mewanti-wanti sebelumnya bahwa antrian ke puncak bisa sejam lebih. Peringatan yang tak menyurutkan niat kami.

Benar saja, antrian sudah mengular. Saya coba liat awal antriannya. Alamak! Ini sih bisa sampai dua jam. Wong lift-nya aja cuma satu dan hanya bisa memuat maksimum 11 orang. Yah, sudah kadung beli tiket dan niat, kami tetap mengantri.

Jam lima kurang sepuluh, akhirnya kami pun sampai di puncak Monas. Asyik juga memandang belantara beton Jakarta dari ketinggian. Jelas terlihat betapa udara Jakarta sudah sangat polutif. Gedung-gedung setelah Sarinah sudah kelihatan dibalut kabut.

Ketika turun lift, ada kejadian menarik yang sempat membuat saya geleng-geleng kepala. Di lantai 2, tiba-tiba seorang petugas berbisik kepada petugas lift, ada seorang bapak dan anaknya ingin ke puncak (lantai 3) dan mereka sudah bayar sepuluh ribu ke dia. Sang petugas lift pun memasukkan mereka berdua. Ini dia nih, ciri orang Indonesia yang nggak mau ngantri, ingin jalan pintas saja.

Di lantai bawah tanah, terdapat museum yang berisikan sejarah perjalanan bangsa Indonesia berupa replika. Sayang, beberapa teks yang menceritakan replika-replika tersebut tidak bisa dibaca karena lampu penerangannya mati. Yang menarik lagi, ada satu tempat, yang di dalamnya, Pemprov DKI menjejerkan program pembangunan Jakarta, termasuk proyek Monorel dan pengembangan Kawasan Terpadu Senen.

Oh, iya, ada satu hal lagi yang menarik perhatian saya. Ketika mengantri, kita "dininabobokan" dengan instrumentalia lagu-lagu nostalgia yang kerap dibawakan Yuni Shara. Aneh! Di Monumen Nasional kog lagunya cinta-cintaan. Bukankah lebih baik menggemakan lagu-lagu patriotisme untuk memupuk rasa nasionalisme? **