Saturday, April 16, 2005

Adat Pernikahan Batak di Jakarta

Kemarin saya menghadiri pesta pernikahan salah seorang kerabat jauh. Saya sendiri belum pernah ketemu dengannya. Hanya karena diundang dan dikasih tahu bentuk pertalian saudara dengan dia--partuturon, dalam istilah Batak-- saya pun datang ke sana. Tempat perhelatan di Gedung Mangaradja, salah satu tempat terkenal untuk pesta pernikahan orang Batak di Jakarta. (Sopir taksi yang saya tumpangi langsung tahu tempat yang saya tuju, padahal saya cuman bilang, pengin ke tempat pernikahan di Pulogadung, tapi lupa namanya. Padahal dia bukan orang Batak!)

Ketika masuk ke tempat acara, saya langsung merasakan atmosfir yang berbeda dibanding dengan upacara-upacara adat yang dilakukan orang Batak di daerah asal. Di sini, tempat pelaminan tertata rapi, persis seperti ketika kita datang ke pesta pernikahan yang telah dijamah modernisasi: penuh dengan ornamen bunga-bunga dan kain berjuntai. Kalau di kampung, ornamen-ornamen seperti itu tidak ada sama sekali. Pengantin dan keluarga dekat duduk seadanya di tempat yang telah disediakan.

Namanya juga pernikahan di gedung, kita tidak akan melihat para tamu yang duduk manis di tikar untuk mengikuti upacara. Fungsi ini telah digantikan kursi dan meja yang telah ditata sedemikian rupa.

Ketika hidangan disajikan, saya merasakan makan seperti layaknya di restoran Padang. Anda akan dilayani oleh pelayan khusus yang telah disediakan pihak gedung. Tidak ada lagi yang namanya parhobas, yang diambil dari pihak keluarga perempuan. Padahal keberadaan parhobas ini merupakan salah satu simbol ikatan keluarga Batak dalam kerangka dalihan na tolu.

Saya juga tidak mendengar lagi gondang menggema ketika pihak keluarga memulai acara adat. Katanya saja "gondang", tapi yang terdengar adalah musik dan lagu dari CD player. Ketika saya menetap sekeliling, para tamu yang hadir, yang hampir seluruhnya orang Batak, terlihat menikmati. Satu-dua tetap saja melakukan gerak tari tor-tor, tari tradisional Batak.

Entah disengaja atau tidak, di tengah acara tiba-tiba saya mendengar lagu Farid Hardja, Aku Rindu. Terang saja saya kaget mendengarnya: apa hubungannya nih? Sekali lagi saya melihat sekeliling. Tidak ada raut protes yang saya lihat.

Ke-adat-batak-an yang masih kental saya lihat waktu itu, hanyalah pada saat pembagian "jambar" kepada marga-marga yang masih terhitung kerabat dan pemakaian bahasa Batak dalam prosesinya.

Sayang, saya tidak bisa berlama-lama di pesta tersebut. Saya telah janji dengan klien. Sementara pesta adat masih akan berlangsung hingga sore hari dan giliran keluarga besar Siburian untuk maju ke depan masih lama. (Saya seharusnya punya kesempatan "mangulosi", memberi ulos, untuk pertama kalinya sejak menikah).

Tapi, setidaknya, pesta adat pernikahan Batak modern yang saya lihat kemarin, telah membuka mata saya, betapa modernisasi memang bisa mengubah pola adat-istiadat yang telah berurat berakar. Adat-istiadat harus mengalah kepada kenyataan hidup. **

Friday, April 15, 2005

Bisnis Resto

Mendung mulai menyelimuti Jakarta, ketika taksi yang saya tumpangi dari Pulogadung menuju Mega Mall Pluit. Benar saja, ketika akan sampai di tempat tujuan, hujan deras mengguyur. Syukurlah, saya tidak sampai terkena macet.

Setelah sekian tahun berdiri, baru kali ini saya menginjak Mega Mall Pluit. Dulu ada teman chatting yang mengajak ketemuan di sini, tapi memikirkan macet dan jauhnya, saya dengan halus menolak. Tapi tidak kali ini. Tanpa diminta pun saya punya keinginan besar untuk datang. Apa pasal?

Alkisah, seorang teman SMA saya kabarnya membuka resto di sana dan kebetulan sang teman tersebut adalah figur yang pernah membuat jantung saya deg-degan. Ketika saya konfirmasi ke dia, memang benar adanya bahwa resto itu miliknya. Bangga juga punya teman yang membuat usaha resto di belantara Jakarta ini. Dan ada sejumput penasaran untuk tahu lebih banyak tentang resto yang diberi nama Blue Platter. Terlebih lagi, tempat kerja saya sekarang merupakan online media city guide. Jadi lebih klop lagi, bukan!? :D

Ketika memasuki resto tersebut, yang pertama-tama menarik perhatian saya adalah tumpukan buku-buku tua berbahasa asing yang menjadi bagian inheren dari dinding yang terletak di sebelah kanan dari pintu masuk. Benar-benar menarik perhatian, walaupun saya tidak tahu pasti apa korelasinya dengan konsep resto tersebut. Tapi, secara keseluruhan ornamen2 yang ada di dinding cukup menarik perhatian.

Beberapa lama berada di sana sembari memandang sekeliling dan mencicipi menu yang ada, kesimpulan akhir yang bisa saya ambil adalah resto ini butuh pembenahan di sana-sini kalau mau lebih menarik pengunjung. Mulai dari soal meja-kursi yang kurang menarik dan tidak membuat orang betah berlama-lama, tata cahaya yang standar hingga penyajian menu yang kurang mengundang selera makan--walaupun setelah mencicipinya sebenarnya rasanya lumanyan enak juga.

Bisnis resto memang bukan sesuatu yang gampang, terlebih di Jakarta ini, tempat beragam pusat jajan bertebaran di seantreo pusat keramaian hingga sudut-sudut kota. Lihat saja, setiap pusat perbelanjaan pasti punya food court dengan beragam pilihan. Bahkan ada tempat yang memang khusus dibangun buat pusat jajan model Bale Air di Gatot Subroto atau Setiabudi One di Kuningan.

Memang kalau dikelola dengan baik, bisnis resto sangat menggiurkan. Beberapa rekan bisnis saya, yang juga membuka resto, bisa break event point (BEP) hanya dalam tempo enam bulan, padahal investasi yang ditanamkan sampai milyaran. Tapi ada juga yang terpaksa tutup atau dijual ke orang lain karena merugi atau tidak menguntungkan.

Pelajaran yang saya dapat dari pengalaman rekan-rekan bisnis yang bergerak di bisnis resto dan pengamatan di lapangan adalah, pertama-tama, sang pengelola harus benar-benar tahu pasar yang hendak dituju mulai dari soal faktor demografis hingga psikografi. Yang kedua adalah soal keseimbangan harga dan rasa. Hukum ini berlaku untuk resto-resto model food court. Sementara bila ia berdiri sendiri atau berada di pusat jajan model Setiabudi One, hukum ini harus ditambah lagi dengan atmosfir, jadi harga + rasa + atmosfir. Di sini masalah penataan ruang sangat menentukan.

Yang ketiga adalah services: bagaimana cara menghadapi konsumen, soal higienitas hingga masalah penyajian menu yang harus disesuaikan dengan jenis menu dan konsep resto secara keseluruhan.

Hal keempat adalah brand building. Jenis jasa apa pun yang Anda miliki, brand building ini sangat penting peranannya. Seorang rekan bisnis saya, yang bergerak di resto & lounge, benar-benar sadar atas yang satu ini. Masalah flyer saja bisa menjadi masalah besar bagi dia kalau dirasa tidak sesuai dengan image tempat usahanya. Tapi terbukti, tiga usaha resto & lounge-nya sukses secara komersial.

Last but not least, keterlibatan langsung pemilik modal. Bisnis resto adalah bisnis selera (taste) dan taste sang pemilik modal lah yang akan menentukan masa depan resto tersebut. Tentunya, ia/mereka harus ditopang oleh orang-orang profesional di dalamnya.**

Sunday, April 10, 2005

Heineken Thirst 2005

Pemilihan DJ terbaik Indonesia versi kompetisi Thirst Indonesia usai sudah. DJ Adhe, yang masih berusia 20 tahun terpilih sebagai pemenang. Malam final yang dilaksanakan di Pantai Ancol, Jakarta pada 9 April lalu meninggalkan catatan tersendiri bagi dunia per-DJ-an di tanah air. Untuk pertama kalinya, Indonesia, khususnya Jakarta, terpilih sebagai salah satu negara yang ikut serta dalam ajang kompetisi DJ tingkat dunia ini.

Terpilihnya Indonesia, langsung atau pun tidak, merupakan pengakuan dunia internasional terhadap gemerlap dunia hiburan malam ibukota. Ya, Jakarta memang menjadi barometer hiburan malam tanah air, di luar Bali, tentunya. Sejak tiga tahun lalu, beberapa tempat hiburan kelas menengah-atas seperti Embassy, Centro, Blowfish, Dragonfly dan lain-lain seakan-akan berlomba-lomba menghadirkan DJ dari mancanegara. Coba saja liat agenda acara mereka, setidaknya dua bulan sekali, pasti ada DJ mancanegara yang tampil. Bahkan dalam bulan-bulan tertentu dalam sebulan, tiap minggunya mendatangkan DJ asing!

Hadirnya para DJ asing ini tentunya membawa atmosfir kompetisi yang positif bagi DJ lokal. Mau nggak mau mereka harus selalu nge-update diri. Modal tampang dan popularitas tidaka jamannya lagi. (Konon salah seorang DJ terkenal di negeri ini, dipakai oleh beberapa tempat clubbing lebih karena popularitasnya sebagai selebriti daripada keahliannya memainkan turn table).

Di sisi lain, kita juga melihat bermunculannya DJ-DJ belia yang kemampuannya tak kalah dari para senior. Ambil saja contoh DJ Adhe di atas. Umur masih 20 tahun sudah bisa ngalahin para DJ lokal yang sudah punya nama.

Harus diakui pula, dunia per-DJ-an memiliki nilai komersial yang tinggi. Betapa tidak! Hanya tampil 2-3 jam saja, seorang DJ bisa dibayar hingga 30 juta rupiah. Ini harga untuk special event. Kalau dianya menjadi resident's DJ, tiap malam bisa menerima honor hingga lima juta rupiah. So, kalau seorang DJ tampil setidaknya tiga kali dalam seminggu, berarti dalam sebulan ia bisa mendapat penghasilan 45 juta rupiah!


Bagaimana kalau masih tergolong DJ pemula? Tarok kata mereka dihargai 500 ribu per malamnya. Sebulan mereka sudah dapat 4,5 juta rupiah. Bandingkan dengan gaji seorang karyawan umur 22-25 yang rata-rata hanya menerima gaji 2-2,5 juta per bulan dan harus bekerja lima hari kerja dengan tekanan kerja yang tinggi pula! **