Pembangunan tiga koridor baru busway telah mengakibatkan bertambahnya titik kemacetan lalu lintas Jakarta. Bila sebelumnya hanya 41 titik, sekarang menjadi lebih dari seratus titik. Situasi ini membuat Bang Foke, Gubernur DKI Jakarta yang baru mengambil keputusan drastis, yaitu memperbolehkan beberapa ruas jalan busway dilalui kendaraan bermotor lainnya.
Sekilas kebijakan ini benar adanya. Menunjukkan tingkat sensitifitas tinggi pemerintah memecahkan persoalan yang ada. Pemerintah sampai rela menelan ludah sendiri demi kebaikan bagi masyarakat. Ya, di satu sisi ini menunjukkan bahwa Pemprov telah salah perhitungan ketika membangun ketiga koridor tersebut. Mereka kurang jeli melihat dampak kemacetan yang ditimbulkannya, sehingga solusi yang bakal diambil pun relatif seadanya. Kesalahan yang mereka akui secara tidak langsung.
Bagi orang awam, seperti saya, kisruh seputar pembangunan ketiga koridor ini telah membuka borok baru lagi. Ternyata Pemprov DKI telah melanggar aturan tentang jalan arteri nasional. Seperti dinyatakan oleh Menteri Pekerjaan Umum, seharusnya jalan arteri harus muat minimal tiga mobil dengan lebar 3,5 meter. Pembangunan koridor busway di Jl. Gatot Subroto dan Jl. MT Haryono telah mengakibatkan penyempitan jalan hingga menjadi dua jalur. Parahnya lagi, keputusan ini dilakukan Pemprov tanpa kordinasi dengan pemerintah pusat.
Anehnya, tidak ada tindakan nyata dari pemerintah pusat atas kecerobohan Pemprov DKI ini. Bahkan yang muncul adalah tawaran kompromi tak berdasar. Menteri PU hanya meminta supaya tetap bisa tiga jalur, walaupun lebarnya tinggal 3 meter atau minimal 2,7 meter. Saya tidak habis pikir bagaimana dengan lebar 2,7 meter, bus kota bisa jalan tiga sejajar!!
Kalau kita melongok ke belakang, jelas terlihat bahwa Pemprov DKI lebih mementingkan tercapainya target pengerjaan jalur busway yang dicanangkan sampai 10 jalur hingga Maret 2008. Kesannya kemudian adalah yang penting jalur ada, persoalan lain urus belakangan.
Lihat saja, sampai sekarang koridor-koridor busway tersebut masih kekurangan bus. Sehingga pada jam-jam sibuk akan terjadi penumpukan penumpang di dalam maupun di halte bus. Lebih kacau lagi, masih sempat-sempatnya ada masalah di-per-bea-cukai-an seputar bea masuk bus impor tersebut, padahal koridornya sudah beres.
Mengatasi sesaknya penumpang busway ini, beberapa waktu lalu Pemprov DKI telah mengimpor bus gandeng. Sepertinya tindakan ini benar adanya. Tapi, dengan segala hormat, menurut saya, lagi-lagi mereka telah mengambil keputusan yang salah. Bagaimana pun bus tunggal tetap lebih baik daripada bus gandeng.
Lebih salah lagi, bila mereka berpikir menjadikan busway yang ada sekarang sebagai alat untuk menggerakkan para pengguna mobil pribadi mau naik busway. Pada hemat saya, akan lebih efektif bila di jalur busway disediakan bus eksekutif dengan harga dua kali lipat, misalnya, tapi tidak pakai acara bergelantungan.***